JAKARTAMU.COM | Madinah, pada sebuah malam tempo dulu, rumah Nabi Muhammad SAW seketika riuh oleh percakapan yang tak biasa. Seorang lelaki berperangai kemayu yang selama ini dianggap tak punya nafsu pada perempuan berceloteh santai tentang tubuh perempuan, lengkap dengan detail lipatan-lipatannya. “Kalau menghadap depan empat lipatan, kalau dari belakang delapan,” katanya ringan, seolah menggambar pola pada kain.
Wajah Nabi berubah seketika. Hit, lelaki itu, mendadak tak lagi sekadar dianggap laki-laki gemulai yang polos. “Jangan sekali-kali dia masuk lagi menemui kalian,” sabda Nabi, seperti diriwayatkan Imam al-Bukhari.
Cerita tentang Hit tak berhenti di malam itu. Ia menjadi titik mula dilema panjang umat Islam dalam memandang mukhannats: lelaki berperilaku kewanitaan, kadang karena fitrah, kadang karena sengaja, selalu berada di persimpangan antara diakui sebagai makhluk Allah dan ditolak karena melanggar norma syariat.
Tiga Kategori: Dari Bawaan Hingga Rekayasa
Dalam khazanah fikih klasik, para ulama membedakan antara mukhannats, khuntsa, dan homoseksual.
Khuntsa, atau orang dengan kelamin ganda (interseks), diakui dalam fikih dengan hukum khusus. Pembagian warisan hingga penetapan mahramnya dibahas tuntas dalam literatur.
Sedangkan mukhannats yang kurang lebih setara dengan waria adalah laki-laki yang berperilaku seperti perempuan. Mereka terbagi dua:
- Bil khilqah, yaitu yang tabiat dan gesturnya sejak lahir menyerupai perempuan, sering disebut “jiwa perempuan dalam tubuh laki-laki.”
- Mutakallif, yaitu yang sengaja dibuat-buat, meniru cara berpakaian dan berbicara wanita padahal tidak demikian dari lahir.
Imam Ath-Thabari menjelaskan, yang dilaknat adalah yang kedua, yakni yang menyerupai perempuan secara sadar dan sengaja. Nabi tidak pernah melaknat mereka yang sejak lahir memang demikian, selama tidak melanggar norma.
Bahkan mereka yang tidak memiliki hasrat seksual pada perempuan dan bersifat alami diperlakukan layaknya mahram. Imam Ahmad dalam al-Mughni menegaskan, mukhannats yang tidak punya syahwat terhadap perempuan hukumnya seperti lelaki tua renta yang boleh bergaul dengan perempuan.
Namun jika mereka punya syahwat terhadap perempuan, hukum dan batas pergaulannya kembali seperti lelaki pada umumnya.
Antara Fitrah dan Batas Syariat
Kesalahpahaman sering muncul ketika orang mengira Nabi Muhammad menerima keberadaan waria begitu saja tanpa syarat. Padahal, Nabi menegur keras ketika melihat Hit menyifati tubuh perempuan dengan cara yang tidak pantas. Sesuatu yang bahkan bagi lelaki sekalipun diharamkan.
Ulama besar seperti Ibnu Baththal menjelaskan dalam syarah Bukhari: Nabi tidak mengusir Hit karena tubuhnya yang gemulai atau tabiat lahiriah, tetapi karena ia melakukan hal yang melampaui batas: menyifati aurat perempuan secara vulgar.
Di luar itu, Nabi tetap membiarkan Hit makan bersama keluarga beliau. Artinya, keberadaan mukhannats sebagai makhluk Allah tidak pernah dinafikan. Yang dilarang adalah ketika mereka melampaui fitrah dan norma syariat.
Pelajaran dari Zaman Nabi
Fenomena waria di zaman modern tak jauh berbeda dengan yang pernah dihadapi Nabi. Ada yang lahir dengan bawaan, ada pula yang meniru-niru. Islam memberi ruang bagi mereka yang tidak punya hasrat seksual pada perempuan untuk hidup sebagaimana adanya, dengan tetap menjaga batas syariat.
Namun bagi mereka yang sengaja meniru-niru dan melakoni perilaku yang diharamkan, Nabi menegaskan larangan keras. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Nabi bersabda: “Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai laki-laki.”
Bagi mereka yang lahir dengan kondisi khilqah, para ulama memberi nasihat: tetaplah berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kodrat. “Karena lelaki tetaplah lelaki, perempuan tetaplah perempuan,” ujar Imam al-Nawawi. Namun bila ketakmampuan itu memang bawaan fitrah, dan tidak melanggar syariat, maka tidak ada dosa di dalamnya.
Wallahu a’lam.