Cerpen Asyaro G Kahean
DUNIA GEGER. Miliaran jiwa warga negara di jagat raya, terhenyak; Kaget…! Di antara mereka, banyak yang tak habis pikir. Peristiwa pokoknya, sering dianggap biasa. Namun, karena kuatnya deraan rasa solidaritas global, sepertinya mereka tak terima atas pendeportasian seorang warga Negara RI dari sebuah negara bernama: Apa Adilkah.
Hal yang membuat warga dunia bak senewen, karena pendeportasian itu diiringi pernyataan Presiden Negara Apa Adilkah, Makabisa Macamitu. Pernyataannya, dengan adanya kebebasan warga negara lain masuk ke Negara Apa Adilkah, bukan berarti seseorang diperkenankan mengganggu hak-hak paling dasar orang lain.
Ucapan tersebut disampaikan Makabisa Macamitu di Istananya yang terletak di Ibukota Negara Pahamilah. Dan, pendeportasian seorang warga Negara RI, ternyata mengundang reaksi spontan banyak pihak dan kalangan.
Yang bereaksi, bahkan bukan hanya dari kalangan warga biasa saja. Akan tetapi juga, dari sejumlah tokoh hingga pemimpin negara di dunia.
Banyak kepala negara yang ikutan sewot, memang. Kesewotan yang muncul dari pemimpin sejumlah negara, mungkin juga dipicu dengan rasa solidaritas global. Mungkin saja, Negara RI dipandang bagian tak terpisahkan dan telah memiliki semacam perjanjian dalam menyongsong pasar bebas. Apa lagi, banyak tokoh internasional menilai kalau Negara RI adalah pasar potensial masa depan.
Melihat reaksi dunia yang begitu dahsyat mengecam Presiden Makabisa Macamitu, sempat membuat para petinggi Negara RI bangga dan sumringah. Apalagi, RI selama ini telah menerima julukan sebagai negara besar. Hanya saja, pada akhirnya petinggi negeri ini terdiam seribu bahasa. Ya, diam! Sebab, yang dideportasi dari Negara Apa Adilkah itu hanyalah seorang pedagang asong belaka.
“Pedagang asongan di Negara RI ‘kan biasa. Mereka yang dagang seperti ini umumnya di kota-kota besar. Aksi dagang mereka dari satu bus ke bus lain, atau dari gerbong kereta api satu ke gerbong lain. Pokoknya, mereka sering berada di kendaraan penumpang umum kelas ekonomi. Pedagang asong banyak jumlahnya ‘kan, tentu saja ini hal lumrah. Kecuali kalau pedagang asong melakukan tindak kriminalitas, barulah dapat dijerat pasal-pasal untuk disanksi. Kasus terkait pendeportasian pengasong itu nggak logis dijerat, tau…!”
Begitu kira-kira komentar salah seorang ahli hukum Negara RI melalui saluran telivisi. Ia pun menyempatkan diri ikut mengecam tindakan Presiden Makabisa Macamitu. Setidaknya, melalui kecaman itulah rasa tidak senang dimunculkan.
Nyatanya, hukum yang berlaku di Negara Apa Adilkah tidak sesederhana apa yang dikoarkan banyak orang; Termasuk, oleh ahli hukum tersebut. Pedagang asong di Apa Adilkah juga merupakan metode dagang baru; Lebih-lebih pada bagian ketika pengasong membagi-bagikan komoditi jualannya ke penumpang kendaraan umum. Hal begini, walau termasuk cara baru, tapi bukanlah hal yang dimasalahkan secara hukum di negaranya Makabisa Macamitu.
Penumpang bus angkutan umum di Kota Pahamilah, umumnya malah merasa salut atas kreativitas pedagang asong. Mereka sama sekali tak memasalahkan si pengasong berasal dari negara mana. Dalam pandangan mereka, cara berdagang asong semata-mata sebagai usaha mengais rezeki halalan thayyiban. Cara dagang demikian masih terkatagori baik dibanding dengan penodongan dan perampokan. Bahkan, cara dagang asong masih lebih baik dari pada sekadar menjual proposal kemiskinan.
Melihat pendagang asong, penduduk Kota Pahamilah malah menaruh hormat karena merasa tertolong. Rasa hormat mereka yang lain, karena pengasong setidaknya punya jiwa mandiri; Yakni jiwa yang berkeinginan memakan hasil jerih payah sendiri. Jiwa mandiri begini bahkan mereka rasakan perlu didukung dan di support bila perlu.
Akan tetapi, rasa hormat warga di Negara Apa Adilkah terhadap siapa pun berada pada batas-batas moralitas dan etika sosial juga. Batas-batas demikian berlaku kepada dan bagi siapa pun. Di negara yang dipimpin Makabisa Macamitu, mengenai moralitas dan etika sosial selalu jadi tolak ukur. Intinya, melakukan tindak-tindak curang sekecil apa pun tidak dibolehkan hukum.
Larangan curang ini, meliputi siapa saja dan dalam beraktivitas apa saja; Termasuk, bagi pedagang asong sekali pun.
**
Alkisah, siang menjelang sore naiklah seorang padagang asong ke sebuah bus kota. Bus ini adalah bus yang kesekian ia naiki dan menjadi sarana dagangnya. Maklum, sejak pagi ia telah naik turun bus kota dengan membawa komoditas dagangan berupa ballpoin yang dibawa dari Ibukota Negara RI.
Padagang asong tersebut sesungguhnya sudah punya banyak pengalaman. Ia bahkan sudah biasa mengasong dagangannya di atas bus kota di sepanjang jalan Kota Pahamilah. Seperti biasa, ia melakukan presentasi sejenak mengenalkan produk komoditas dagangannya. Selepas itu, ia bagi-bagikan ballpoin ke penumpang bus. Pokoknya, bagi bagikan dulu barang dagangan bayar beberapa saat kemudian.
Saat itu, antara barang dagangan dengan penumpang lebih banyak jumlah penumpang. Pembagian ballpoin pun jadi tak merata. Tatkala pengasong menarik barang dagangan atau mengambil uang dari yang minat beli, tepat di deret bangku tengah si pengasong ngotot. Pasalnya, salah seorang penumpang di situ tak mengembalikan ballpoin yang ada di saku baju, juga enggan membayar.
“Apa-apaan anda! Ini ‘kan milik saya yang saya bawa dari rumah. Masak anda minta?” kata penumpang tak mau kalah seraya menunjukkan barang yang diminta pengasong.
“Hei, bung! Tadi itu saya bagi-bagikan seperti biasa; Supaya dilihat-lihat dulu. Kalau berminat beli, silakan bayar,” rutuk si pengasong.
“Tapi ini milik saya. Ini ballpoin bukan barang anda,” bantah lelaki paruh baya itu.
“Ah, ada-ada saja. Lihatlah merek dan kualitasnya. Pasti sama dengan yang saya bagi-bagikan,” si padagang aong mencoba meyakinkan dengan menunjukkan beberapa ballpoin.
“Betul sekali, bung. Merek dan kualitasnya memang sama, mungkin. Tapi ini saya beli di Ibukota RI lho. Sudah seminggu lalu saya beli. Jadi, ini barang bukan barang anda…,” sang penumpang berusaha menjelaskan.
“Oh tidak! Ballpoin ini tadi saya bagikan. Tolong berikan ke saya. Kalau situ tak punya duit bilang saja, tapi jangan gitu caranya…,” rutuk si pengasong.
“Eh, bung. Bukan soal duit, ini soal hak milik!” ungkap penumpang itu geram.
“Kalau situ tak mau mengembalikan ke saya, ya sudah… Ambil saja buat anda!”
“Hei…! Anda menganggap saya berlaku curang? Kalau begitu, ayo kita buktikan saja di pengadilan, hem?”
Menyaksikan keribuatan tersebut, para penumpang yang umumnya berkewarganegaraan Apa Adilkah ikut jengkel. Terlebih, ketika meluncurnya ucapan ingin membuktikan melalui lembaga hukum. Dan karenanya, secara serta merta beberapa penumpang serentak berdiri.
Di antara penumpang, ada yang langsung mendekati pengemudi bus kota dan meminta agar berhenti di pos polisi terdekat. Beberapa penumpang lain, memegang pengasong dan menangkap orang yang katanya hendak membawa insiden ini ke pengadilan.
Proses pemeriksaan kepolisian berlangsung. BAP pun tuntas sudah. Penumpang bus yang merasa dicemarkan nama baiknya di muka umum tegas-tegas meminta agar kasus ini dibawa segera ke meja peradilan. Sedang sebuah ballpoin yang diperkarakan disita sementara sebagai bahan bukti.
Lain hal dengan si pedagang asong. Ia jadi kalang-kabut. Dalam bayangan dia yang muncul, bila sudah berurusan dengan pengadilan bisa saja menghabiskan warisan sawah di kampung. Maka itu, berulangkali ia mohon kebijaksanaan kepolisian. Bahkan pedagang asong mengaku, siap membayar dengan sejumlah materi yang dipunyai; Asalkan, inseden ini tak berlanjut ke meja hijau.
“Anda akan menyuap kami, hem? Ketahuilah, di Negara Apa Adilkah polisi tidak punya kewenangan mengabulkan permintaan anda. Hakim di pengadilan yang punya hak tersebut,” kata Kapolres Metro Pahamilah Dulu, AKBP Ogasalah.
Kapolres ini menjelaskan pula, kalau tugas kepolisian di Negara Apa Adilkah hanya memproses perkara. Sementara yang akan mengambil kebijakan secara hukum, adalah pengadilan.
“Apakah karena saya ini orang asing?” tanya si pengasong sekaligus berniat akan mencoba bermain kata.
“Bukan itu masalahnya. Bangsa mana pun akan kami perlakukan sama,” kata Ogasalah. Kemudian ia memerintah anak buahnya agar si pengasong dimasukkan sementara ke ruang tahanan.
Menunggu waktu persidangan digelar, si pengasong asal Negara RI itu berada di tahanan polisi. Ia merasa memang berada dalam penjagaan ketat. Meski pun begitu, yang dirasakannya, sama sekali tidak dutemukan adanya kekerasan atau intimidasi.
Pengasong itu bahkan merasa-rasakan, di tahanan kepolosaian, dirinya sangat dimanusiakan. Sekali pun berada dalam ruang tahanan, sempat juga ia rasakan di tahanan ini jauh lebih mewah dibanding dengan rumah kontrakan yang pernah ditinggalinya dulu, Ketika ia masih tinggal di sebuah gang dan mengasong dagangan di Ibukota RI.
Sang pengasong lantas mengingat-ingat; Mengapa dirinya harus hijrah dan akhirnya sampai ke Negara Apa Adilkah. Tak lain, karena di Ibukota Negara RI sudah terbit peraturan daerah yang menjadi alat untuk menangkap pedagang asong seperti dirinya. Ia takut. Ya, takut…; Kalau-kalau, akibat beraktivitas asongan lantas masuk bui.
Kota Pahamilah, akhirnya menjadi pilihan. Apa lagi masuk negera ini tanpa paspor juga tanpa visa. Hal yang lebih mendorongnya, karena pada sektor usaha inilah ia dapat mempertahankan hak-hak hidupnya dalam mengais rezeki yang diyakini halalan thayyibah.
Diam-diam, terbesit juga sedikit rasa sesal; Mengapa dirinya sampai terseret hendak dimejahijaukan juga….
Padahal, mengasong di Kota Pahamilah pada awalnya ia pikir-pikir akan menjauhkan dirinya dari tuntutan hukum. Namun, mengapa justru di negaranya Makabisa Macamitu tuntutan hukum justru mendera?
**
Pada saat yang ditentukan, proses peradilan pun berlangsung. Persidangan dilaksanakan di Pengadilan Negeri Kota Pahamilah Dulu. Sedikit beruntung rasanya, karena seorang pengacara yang dibiayai negara itu mendampingi persidangan. Hak-hak pembelaan hukum atasnya, pun turut ia rasakan.
Dalam proses persidangannya, dipimpin Hakim Ketua Jauhidosa Magister Hukum. Infonya, hakim ketua ini adalah tamatan salah satu perguruan tinggi ternama di Jognyakata. Dalam tuntutan jaksa, si pengasong dituduh melanggar etika sosial. Dan, kepadanya dikenakan pasal-pasal menyangkut moralitas. Inti tuntutan jaksa, si pedagang asong telah mencemarkan nama baik seseorang di depan umum.
Dalam kasus tersebut, bila secara hukum terbukti, jika ia warga dalam negeri akan dikenai sanksi yang memalukan sehingga sulit berkeliaran bebas. Apabila ia non warga Negara Apa Adilkah, sanksinya dikembalikan ke negara asalnya, dengan disertakan larangan tetap untuk tidak lagi hadir ke wilayah Negara Apa Adilkah, meski pun dunia sudah kiamat kelak.
Pengacara yang bertindak melakukan pembelaan hukum bagi si pengasong asal RI, terlihat sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas. Akan tetapi, apa hendak dikata; Pengacara tersebut kalah karena hasil forensik laboratorium menguatkan pihak pelapor.
Hasil forensik yang dibawa sebagai bukti di persidangan menunjukkan: Ballpoin yang diperkarakan adalah benar milik pelapor yang tidak rela dituduh curang. Menurut penasihat hukum penggugat, kliennya pernah memakai ballpoin miliknya untuk mengaduk secangkir kopi; Zat kandungan serbuk kopi masih didapati di ballpoin yang disengketakan.
“Klien kami baru mendapat pekerjaan di Kota Pahamilah ini. Ia kos sendirian. Sedangkan keluarganya, masih ditinggal sementara di kampung halamannya sana. Suatu pagi, klien kami membuat secangkir kopi. Rupanya, kien kami ini tak membawa sebuah sendok pun. Maka ballpoin itulah yang dipakai mengaduknya,” terang penasihat hukum penggugat.
Nyatanya, hasil forensik menunjukkan kebenaran. Berati si pengasong dianggap bersalah karena telah bertindak ceroboh hingga mencemarkan nama baik orang lain, di muka umum.
Hakim Ketua Jauhidosa Magister Hukum, pada akhirnya membacakan putusan. Si penggugat direhabilitasi nama baiknya secara hukum. Sementara terdakwa divonis bersalah dan diberi sanksi sesuai tuntutan jaksa. Artinya, si pedagang asong tersebut harus dideportasi dan diberi larangan tetap untuk tidak lagi hadir di Negara Apa Adilkah sampai kapan pun.
Menyangkut perkara pendeportasian tersebut, Presiden Makabisa Macamitu berupaya agar warga dunia tidak mengecam negaranya. Dengan gagah ia terus menyiarkan, kalau hukum di negaranya berjalan efektif dan tidak mengada-ada. Berani jujur telah menjadi perisai bagi seluruh rakyatnya.
“Negara kami bukan Negara janji muluk-muluk. Kami lebih konsen menegakkan dua aspek kehidupan yang punya nilai universal. Kedua aspek tersebut nyatanya ampuh menenteramkan rakyat kami. Kedua aspek tersebut sekaligus kami jadikan alat dalam pergaulan dunia. Dan, kedua aspek itulah yang mendasari hukum serta Tatanegara Apa Adilkah. Kedua aspek itu, adalah Iman dan Moral.”
Begitulah yang terus didengungkan Makabisa Macamitu melalui berbagai media. Dengungan-dengungannya jelas-jelas ditujukan kepada sejumlah negara di dunia, dan secara khusus ditujukan untuk pemimpin serta seluruh warganegara termasuk mereka yang berasal dari Negara RI.
Beberapa kepala negara di dunia, memang sempat menganggap kalau pendeportasian warga Negara RI itu terlalu mengada-ada. Di antaranya ada yang menilai kalau alasan hukum Makabisa Macamitu tidak logis. Di antaranya lagi, malah ada yang mengatakan kalau kebijakan Negara Apadilkah tersebut hanya merupakan sindiran atas bangun solidaritas global selama ini. Oleh karenanya, sejumlah kepala negara pun ramai-ramai mengecam.
Para petinggi Negara RI sempat juga menilai, ramainya kecaman tersebut memiliki makna strategis dalam penggalangan kekuatan daya tawar, baik pada tingkat regional mau pun internasional. Bukankah Negara RI sebuah negara besar yang layak dihormati dunia? Ya, sejatinya demikian. Hanya, setelah diketahui yang dideportasi kelas asongan, hampir seluruh jajaran petinggi negeri ini pun bungkam.
Ya, hamper seluruhnya diam…! Bahkan, di seantero negeri nyaris tak ada yang berani berbisik sekali pun. Senyap. Senyap sekali…; Hampir-hampir lebih senyap dibanding ketika seseorang tengah berada di pemakaman.
Keadaan begini, berlangsung beberapa saat lamanya. Mungkinkah, pada kalbu sebagian warga Negara RI digerayangi rasa malu yang sangat?
Sementara itu, sebagian warga RI lainnya, ada juga yang harap-harap cemas. Mareka hanya ingin tahu tindakan yang akan dilakukan pemimpin negara RI terhadap tindakan dan pernyataan Presiden Makabisa Macamitu.
Setidaknya, sebagian warga tersebut tengah ikut merasakan bahwa kebijakan Negara Apa Adilkah, terkait pendeportasian, adalah kebijakan yang menyangkut dua opsi; Yakni: membuat malu atau malu-maluin. Karenanya, pihak pemerintah diharapkan agar menyikapi perkara tersebut dengan serius!
Harap-harap cemas sebagian warga Negara RI terus berlangsung sampai dengan waktu sulit ditentukan. Pemerintah pun belum-belum juga melakukan penyikapan secara resmi menyangkut pendeportasian itu.
Oleh karenanya, hanya desah-desah kalbu mereka yang terus mendesis; Apa lantaran hukum di Negara Apa Adilkah yang dipimpin Presiden Makabisa Macamitu telah tegak dan menjadi semacam tananan iman dan moral? Sementara hukum di negeranya si pengasong, masih saja berada dalam kutat pertanyaan: adil apakah…?
***
Cerita pendek ini, saya tulis 12 Desember 2005, ketika perda berkaitan dengan larangan berjualan asong di jalan-jalan di DKI Jakarta dalam pembahasan. Dan, cerpen ini pernah dimuat di sebuah media cetak lokal. Beberapa teman meminta agar cerpen bertajuk “Negara Apa Adilkah” dimuat di blog. Lantas, saya berusaha memenuhi dengan tetap melihat dinamika sosial yang terjadi. Cerpen ini pun saya revisi. Setelah itu, barulah saya tayangkan kembali.
Semoga menjadi bacaan berhikmah….