JAKARTAMU.COM | Pada dini hari 13 Juni 2025, langit Timur Tengah kembali menyala. Sebuah operasi militer besar-besaran, yang kemudian dikenal sebagai True Promise III, diluncurkan oleh militer Iran sebagai respons terhadap serangan mendadak Israel yang menewaskan sejumlah komandan Garda Revolusi dan ilmuwan nuklir senior di kota Isfahan dan Tabriz.
Tak seperti balasan-balasan sebelumnya, kali ini Iran tak sekadar mengirim sinyal. Mereka mengirim peluru. Rudal balistik, drone kamikaze, dan sistem peperangan elektronik diluncurkan hampir bersamaan dalam gelombang serangan berlapis, menyasar jantung infrastruktur Israel — dari Tel Aviv, Haifa, Eilat, hingga pangkalan militer Negev.
Untuk pertama kalinya sejak 1973, Israel menghadapi musuh yang menyerangnya bukan dari Gaza atau Lebanon, tapi dari negara berdaulat yang menyatakan tanggung jawab penuh.
Menghukum dengan Presisi
Sejumlah laporan menyebut bahwa drone Shahed-136 dan Arash-2 dilepaskan terlebih dahulu. Tujuannya bukan untuk menghancurkan, tapi mengganggu. Mereka menciptakan kekacauan pada sistem radar dan pertahanan udara Israel. Barulah kemudian rudal-rudal Fattah-1, Qadr, Emad, dan Sejjil diluncurkan dari Iran tengah.
Pukul 23.00 waktu Teheran, gelombang pertama meluncur menuju pusat komando dan komunikasi Israel. Pukul 03.00 dini hari, pelabuhan dan infrastruktur ekonomi diserang. Sebelum fajar, gelombang ketiga datang menghantam sistem radar dan pengendali militer Israel.
Israel mencoba menutupi dampaknya. Sensor media diberlakukan. Tapi potongan video amatir memperlihatkan ledakan di dekat Bursa Efek Tel Aviv, kerusakan berat di pelabuhan Eilat, dan asap membumbung dari Pangkalan Ramon. Tidak butuh waktu lama sebelum kabar menyebar di jagat media sosial. Opini publik dunia mulai terbelah. Untuk pertama kalinya, ketakutan menyelimuti langit Israel, bukan Gaza.
Retaknya Tameng Langit
Sistem pertahanan Iron Dome, David’s Sling, dan Arrow 3 selama ini menjadi kebanggaan Israel. Namun laporan dari The New York Times menyebut bahwa sistem ini mulai goyah. Arrow 3 dilaporkan mengalami kekurangan interceptor setelah gelombang keempat serangan Iran, membuat beberapa rudal balistik melewati sistem pertahanan tanpa perlawanan berarti.
Kecepatan rudal hipersonik Fattah-1, yang melesat di atas Mach 15, serta manuver terminalnya yang sulit diprediksi, membuatnya nyaris mustahil dicegat. Teknologi “plasma blackout” pada rudal ini bahkan membuat radar buta beberapa detik — cukup lama untuk menciptakan kehancuran.
Lebih dari itu, drone Shahed dan Arash generasi baru terbukti efektif dalam mengalihkan perhatian dan membanjiri sistem deteksi. Serangan ini menjadi preseden bagaimana teknologi murah, jika dikombinasikan dengan strategi yang matang, bisa meruntuhkan sistem pertahanan paling canggih sekalipun.
Dari Retorika ke Realita
Teheran tak membantah. Mereka bahkan mengklaim keberhasilan serangan ini dalam siaran resmi. Sejumlah analis menyebut bahwa True Promise III adalah pembuktian dari strategi deterrence aktif Iran: merespons agresi tidak dengan diplomasi semata, melainkan dengan kekuatan yang setara atau bahkan lebih tinggi.
Selama ini, Iran dikenal sebagai pemain retorika — banyak ancaman, sedikit aksi. Namun dalam operasi kali ini, mereka menanggalkan semua tabir diplomatik. Mereka memilih untuk menghukum, bukan memperingatkan. Dan dunia menyimak.
Titik Balik Timur Tengah
Konflik ini menjadi titik balik. Selama puluhan tahun, Israel adalah satu-satunya kekuatan udara superior di kawasan. Tapi kini, ia dipaksa menghadapi kenyataan bahwa ancaman tak lagi datang dari kelompok non-negara. Iran telah menjelma menjadi kekuatan militer yang tidak bisa diremehkan — dengan kemampuan produksi senjata sendiri, strategi operasi terkoordinasi, dan kapasitas untuk melukai jantung musuh.
Dalam dunia intelijen militer, keberhasilan operasi ini berarti satu hal: Iran kini bisa memulai perang dan menentukan tempo. Tidak lagi hanya menunggu diserang.
Diplomasi yang Datang Terlambat
Pengumuman gencatan senjata datang bukan dari Tel Aviv, tapi dari Washington. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyatakan bahwa Israel sepakat menghentikan operasinya demi mencegah eskalasi lebih lanjut. Sejumlah pihak melihat ini sebagai bentuk intervensi penyelamatan muka.
Di Teheran, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menyatakan bahwa operasi militer akan dihentikan jika tidak ada lagi agresi. Tapi bagi banyak pengamat, posisi tawar Iran sudah berubah. Mereka tidak lagi meminta, tapi menetapkan syarat.
Momentum dan Mitos yang Roboh
True Promise III telah menggugurkan dua mitos sekaligus. Pertama, bahwa Israel tak terkalahkan dari udara. Kedua, bahwa Iran tidak mampu menyerang secara langsung dan efektif.
Kini, Iran menguasai narasi sebagai negara yang berhasil membalas serangan musuh dengan cara yang presisi, terkoordinasi, dan dengan dampak signifikan secara psikologis dan strategis.
Ini bukan akhir dari konflik. Tapi jelas, ini awal dari babak baru di Timur Tengah. Dan dalam babak ini, tidak hanya rudal yang berubah, tapi juga cara kita memahami keseimbangan kekuatan.
Operasi True Promise III bukan sekadar respons militer. Ia adalah unjuk kekuatan negara yang selama ini dikucilkan tapi berhasil membangun kekuatan sendiri — di tengah embargo, tekanan ekonomi, dan ancaman perang. Iran menunjukkan bahwa determinasi strategis, ketahanan industri militer, dan kalkulasi geopolitik yang matang dapat mengubah posisi tawar dalam percaturan global.
Dalam perang yang sebagian besar terjadi di langit, Iran telah menulis ulang aturan main. Dan dalam dunia pasca-kebenaran ini, narasi adalah separuh dari kemenangan.(Sumber Press TV)