JAKARTAMU.COM | Digitalisasi pendidikan digadang-gadang sebagai jalan pintas Indonesia menuju era baru pembelajaran. Tapi jalan itu kini berubah menjadi labirin skandal. Di tengah riuh wacana transformasi digital sekolah, proyek senilai Rp9,98 triliun, yang digagas Kementerian Pendidikan di bawah komando Nadiem Anwar Makarim, malah membelok ke ruang sidik Kejaksaan Agung.
Senin, 26 Mei lalu, Kejagung menaikkan status perkara ini ke tahap penyidikan. Indikasi rekayasa sudah terang. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengungkap, ada dugaan pemufakatan jahat dalam proses pengadaan laptop Chromebook yang diperuntukkan bagi ribuan sekolah dasar dan menengah. “Kajian teknis dipelintir agar seolah-olah Chromebook dibutuhkan, padahal uji coba membuktikan itu tidak efektif,” ujarnya.
Uji coba yang dimaksud berlangsung sejak 2018, melibatkan 1.000 unit Chromebook. Hasilnya nihil. Koneksi internet yang dibutuhkan perangkat ChromeOS tak tersedia di banyak sekolah. Namun, kajian awal yang menyarankan sistem operasi Windows tiba-tiba berganti. Sistem baru yang disodorkan justru mendorong adopsi ChromeOS, produk milik raksasa teknologi Google.
Aroma Manipulasi dari Dalam dan Luar Negeri
Dua mantan staf khusus Mendikbudristek, Fiona Handayani dan Jurist Tan, menjadi sorotan penyidik. Apartemen mereka telah digeledah, barang elektronik disita. JT diduga berperan langsung dalam penyusunan ulang kajian teknis. Fakta lain menambah kecurigaan: suami JT adalah pejabat senior Google Asia Tenggara.
“Ini bukan sekadar konflik kepentingan. Ini jejak intervensi korporasi asing ke kebijakan pendidikan nasional,” kata Boyamin Saiman dari Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI).
Yudi Purnomo, mantan penyidik KPK, mengingatkan agar penyidik menelusuri aliran dana proyek hingga ke luar negeri. “Kalau ini skenario besar, jangan hanya kejar staf. Harus dilihat siapa yang mengatur lalu lintas uang dan kebijakan,” katanya.
Bukan Sekadar Mark-Up, tapi Rekayasa Proyek
Sumber pendanaan proyek ini terbilang menggiurkan: Rp3,58 triliun dari dana satuan pendidikan, sisanya Rp6,4 triliun dari Dana Alokasi Khusus (DAK). Di atas kertas, proyek ini menjanjikan. Tapi realitasnya: perangkat yang dibeli tidak sesuai kebutuhan, jaringan internet tak memadai, dan ribuan Chromebook hanya jadi tumpukan besi tanpa fungsi.
Abdullah, anggota Komisi III DPR, menyebut proyek ini sebagai “perampokan sistemik”. “Yang dicuri bukan hanya uang rakyat, tapi masa depan generasi pelajar,” katanya.
Kemendikbudristek menyatakan program telah dihentikan. Wakil Menteri Fajar Riza Ul Haq menyebut kebijakan itu warisan era menteri sebelumnya. “Kami sekarang fokus ke evaluasi dan reformasi,” ucapnya diplomatis.
Diamnya Nadiem, Desakan Parlemen
Hingga artikel ini disusun, Nadiem Makarim belum memberi tanggapan. Mantan CEO Gojek itu memilih bungkam, sementara tekanan publik terus meningkat. “Kami tidak menutup kemungkinan memanggil beliau,” kata Harli.
Sementara itu, spekulasi terus beredar di publik. Nama besar lain ikut terseret: Luhut Binsar Pandjaitan. Tuduhan itu muncul dari Djoko Edhi, mantan anggota DPR. Dalam tulisannya, Djoko menyebut Luhut membeli saham mayoritas produsen laptop dalam negeri Zyrex, tak lama sebelum perusahaan itu memenangkan kontrak Rp700 miliar dari Kemendikbudristek.
Zyrex disebut sebagai satu-satunya produsen lokal yang lolos ‘surat elektronik’ Nadiem, sementara pesaingnya seperti Axio tersingkir. “Tricky sekali macan tua dari Laguboti ini,” tulis Djoko dalam nada sinis. Tuduhan yang dibantah oleh juru bicara Kemenko Marves, Jodi Mahardi. “Tolong disertai bukti, jangan asal tuduh,” katanya pada Agustus 2021.
Djoko Edhi tidak menanggapi Marves. Ia meninggal beberapa bulan lalu karena sakit.
Namun, aroma konflik kepentingan sulit ditepis. Pemerintah saat itu sedang gencar mempromosikan produk dalam negeri. Tapi jika pembelian saham dan tender saling berkelindan, pertanyaannya bukan lagi soal teknis pengadaan. Tapi: siapa sebenarnya yang mengendalikan arah kebijakan?
Jejak Jargon dan Jebakan Digitalisasi
Digitalisasi pendidikan bukan sekadar soal distribusi perangkat. Ia mestinya soal kesetaraan akses, peningkatan kualitas belajar, dan pelatihan guru. Tapi dalam praktiknya, jargon besar itu jadi kedok untuk proyek raksasa yang tak berpijak pada kebutuhan riil.
“Ketika data lapangan menunjukkan ketidakefisienan, tapi kebijakan tetap dijalankan, itu bukan lagi kebodohan. Itu rekayasa,” kata Yudi Purnomo.
Dalam skandal Chromebook ini, publik melihat bagaimana teknologi bisa digunakan sebagai justifikasi untuk belanja jumbo, yang akhirnya memperkaya segelintir orang. Jika tak diusut tuntas, proyek digitalisasi lainnya bisa bernasib sama: jadi ladang baru korupsi berkedok modernisasi.
Kapan Pendidikan Tak Lagi Jadi Proyek?
Di tahun politik dan pergantian kekuasaan, skandal ini jadi ujian awal bagi janji pemerintahan Prabowo Subianto dalam membasmi korupsi. DPR mendesak pembentukan panitia khusus. LSM menuntut audit menyeluruh. Tapi publik, yang anaknya belajar dengan perangkat tak berfungsi, hanya menuntut satu: keadilan.
Digitalisasi, pada akhirnya, bukan soal perangkat. Tapi soal niat. Dan ketika niat itu dirusak oleh nafsu mengeruk untung, maka yang rusak bukan hanya program. Tapi seluruh kepercayaan masyarakat pada negara.
“Kami pernah berharap pada masa depan. Kini masa depan itu tinggal folder kosong di dalam Chromebook.”
Sumber: Liranews.com