JAKARTAMU.COM | Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengungkapkan perjalanan hijrah Nabi Muhammad empat belas setengah abad memiliki tujuan besar. Tak lepas dari bagian dari strategi dakwah, visi hijrah Nabi adalah membangun peradaban.
Hal ini disampaikan Mu’ti dalam tausiyah refleksi peringatan tahun baru Islam 1447 Hijriah di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (26/6/25). Hadir dalam refleksi ini Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, beberapa Menteri Kabinet Merah Putih, para Duta Besar negara sahabat, dan perwakilan Ormas Islam.
”Dikaitkan dengan peristiwa hijrahnya Rasulullah Muhammad sallallahu alaihi wasallam beserta para sahabat dari Makkah ke Madinah, sebuah peristiwa yang secara historis merupakan tonggak penting awal dari sejarah peradaban Islam yang menjadi tonggak kemenangan dakwah Rasulullah Muhammad sallallahu alaihi wasallam,” kata Mu’ti.
Peristiwa hijrah menurut Mu’ti memberikan pelajaran bagaimana Rasulullah membangun Yasrib menjadi sebuah kota maju. Kota itu lalu dinamakan Madinah, yang juga bermakna kota peradaban. Tempat yang diterangi cahaya iman, diindahkan dengan cahaya akhlak, dan diperkuat dengan persaudaraan di antara sesama anggota masyarakat.
Mu’ti yang juga Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengisahkan perjalanan panjang Rasulullah dan para sahabatnya saat memasuki Madinah yang disambut dengan sukacita oleh penduduk Madinah tanpa setetes darah pun yang tumpah. Hal itu menggambarkan sukacita dan harapan yang luar biasa dari masyarakat Yasrib tentang datangnya seorang pemimpin yang akan membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat di Madinah.
Di kota ini, setidaknya adalah tiga hal yang dilakukan Rasululllah. Pertama, nabi membangun masjid. Hal ini bermakna upaya membangun masyarakat baru, peradaban baru dengan fondasi iman, sebuah kekuatan spiritual yang merupakan bagian penting dan penentu perekat umat manusia.
“Rasulullah Muhammad memberikan contoh bagaimana iman menjadi kekuatan yang mempersatukan, dan bagaimana iman menjadi kekuatan yang membawa kemajuan,” tandasnya.
Kedua, Nabi membangun pasar. Mu’ti memaknai bahwa Rasulullah membangun kekuatan ekonomi. Hal itu menunjukkan bagaimana kesejahteraan material tidak kalah pentingnya dengan kesejahteraan spiritual.
“Kesejahteraan material itu di dalam agama Islam bahkan dijamin sehingga beberapa ulama seperti Al-Ghazali menyebut di antara tujuan dari syariat itu adalah hifdzul mal, melindungi menjaga harta benda, yang harta benda itu beserta kepemilikannya tidak hanya menjadi bagian dari jaminan atas kesejahteraan manusia secara pribadi tapi juga menjadi bagian dari jaminan kehidupan yang damai dan kehidupan yang sejahtera di antara manusia,” urainya.
Hal ketiga yang dilakukan Nabi yaitu membangun masyarakat dengan tata kelola kenegaraan, melalui Piagam Madinah. Piagam itu adalah konstitusi, tonggak dan model sebuah sistem pemerintahan. Robert N Bellah dalam bukunya Beyond Belief menyebutnya sebagai satu sistem ketatanegaraan yang melampaui zamannya.
”Kalau kita mendalami 47 pasal dalam Piagam Madinah itu paling tidak ada tiga pesan penting yang ada di dalamnya, kerukunan perdamaian akan tercipta apabila kita semua melakukan inklusi sosial, tidak ada diskriminasi, dan tidak ada kelompok yang dimarginalisasi,” tutur guru besar UIN Jakarta itu.
Piagam Madinah secara jelas menyebut semua umat beragama, semua suku, kabilah-kabilah yang berdiam di Madinah. Menurut Mu’ti, ini merupakan kunci inklusivitas sosial, modal sekaligus model membangun integrasi sosial yang sengaja dirancang Nabi Muhammad setelah mempersaudarakan para pendatang (Muhajirin) dengan penduduk asli Madinah (Ansor). Dua komunitas penting itu memiliki kedudukan yang sangat mulia berhijrah dan berjuang di jalan Allah.