JAKARTAMU.COM | Setiap kali bulan baru muncul di langit, masyarakat Jawa dan umat Islam di seluruh dunia menatap kalender dengan arah yang sama namun nama yang berbeda: 1 Muharram dalam Islam, 1 Suro dalam tradisi Jawa. Dua nama yang lahir dari akar sejarah yang berbeda, namun kini berjalan berdampingan dalam harmoni yang tak terpisahkan.
Secara sistemik, tidak ada perbedaan antara 1 Muharram dan 1 Suro. Keduanya mengacu pada kalender qamariah—sistem penanggalan berbasis perputaran bulan. Yang membedakan hanya penamaan dan angka tahunnya. Di tahun 1444 H, misalnya, 1 Muharram jatuh pada 30 Juli 2022, yang secara bersamaan dalam Kalender Jawa tercatat sebagai 1
Akar penyatuan antara Muharram dan Suro ini tidak dapat dilepaskan dari figur Sultan Agung Hanyokrokusumo, penguasa besar Kesultanan Mataram Islam yang berkuasa antara 1613 hingga 1645. Ia bukan hanya pemimpin militer dan politik, tetapi juga pemikir budaya dan keagamaan. Di masa itu, masyarakat Jawa masih menggunakan kalender Saka, warisan Hindu-Buddha yang berbasis peredaran matahari.
Pada tahun 1625 Masehi (1547 Saka), Sultan Agung mengeluarkan sebuah dekrit monumental: mengganti sistem kalender Saka dengan kalender Hijriah Islam berbasis lunar, namun tetap mempertahankan angka tahun Saka. Hasilnya adalah kelahiran Kalender Jawa Islam, sebuah hibrida kosmologi antara langit Islam dan bumi Jawa.
Dekrit ini menjadi alat politik dan kultural yang cerdas. Dengan mengharmonikan dua sistem penanggalan, Sultan Agung ingin merangkul kaum santri dan abangan, pesisir dan pedalaman, Islam dan kejawen—sebagai bagian dari strategi konsolidasi budaya dan agama untuk melawan dominasi Belanda di Batavia.
Malam 1 Suro
Jika tahun baru Masehi dirayakan dengan kembang api dan pesta, malam 1 Suro justru dirayakan dengan keheningan dan perenungan. Di banyak wilayah Jawa, terutama yang masih memegang teguh nilai-nilai kejawen, 1 Suro adalah malam sakral. Bukan saat untuk berpesta, tapi untuk tapa bisu, tirakatan, kungkum di sungai, menjamas pusaka, atau menyepi di tempat keramat.
Di Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, peringatan malam 1 Suro dirayakan dengan kirab pusaka. Di Solo, kehadiran kebo bule dalam kirab menjadi ikon unik yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural. Di Yogyakarta, pusaka keraton seperti keris dan tombak diarak mengelilingi alun-alun dengan kidung dan doa.
Waktu pelaksanaannya pun khas. Tidak seperti tahun baru Masehi yang berganti tepat pukul 00.00, hari dalam penanggalan Jawa dimulai saat matahari terbenam. Maka, malam 1 Suro dimulai selepas maghrib, bukan tengah malam.
Makna Suro dalam Batang Tubuh Jawa
Bulan Suro bukan hanya awal tahun, tapi juga bulan untuk mengendalikan diri. Dalam tradisi pesantren, seperti yang ditulis oleh Dr. Syarifatul Marwiyah dalam buku Corak Budaya Pesantren di Indonesia, malam 1 Suro diisi dengan muharoman—saling kunjung antar santri, tadarus, dan pembagian kue dari kiai sebagai bentuk penghargaan.
Sedangkan tanggal 10 Muharram (Asyura) dikenal dengan asyuroan, diisi dengan puasa dan sedekah secara diam-diam (sirri), serta beberapa lelaku batin seperti menulis basmalah sebanyak 113 kali untuk penguatan spiritualitas. Dalam tradisi ini, basmalah menjadi jimat, dan empat lubang pada setiap kata mewakili empat mata air surga: air, susu, madu, dan khamr (arak surgawi).
Masyarakat Jawa meyakini bahwa sepanjang bulan Suro manusia harus eling dan waspada. Eling—tetap ingat pada asal muasal dan posisi diri sebagai makhluk. Waspada—tetap siaga dari godaan dunia. Dua nilai spiritual yang ditanamkan lewat laku batin, bukan doktrin.
Larangan Hajatan: Mitos atau Kearifan?
Salah satu larangan tak tertulis yang masih dipercaya luas adalah pantang menggelar pernikahan di bulan Suro. Mitos ini berakar dari anggapan bahwa Suro adalah bulan penuh petaka dan bencana. Namun sebetulnya, di balik larangan itu tersembunyi kearifan lokal: bulan ini ditujukan untuk memulai tahun dengan menundukkan hawa nafsu, bukan memanjakan diri dalam pesta-pesta.
Sultan Agung bahkan menetapkan bahwa Jumat Legi yang bertepatan dengan 1 Suro sebagai hari paling keramat, di mana masyarakat dianjurkan berziarah, mengaji, dan haul. Laporan pemerintahan pun dilakukan sambil membaca tahlil dan tadarus.
Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa 1 Muharram dan 1 Suro adalah dua nama untuk satu jiwa tradisi. Satu berpijak pada wahyu, satu berpijak pada budaya. Tapi keduanya melatih manusia untuk kembali pada keheningan, kesadaran diri, dan pengabdian kepada Tuhan.
Di tengah zaman yang makin riuh dan hilang arah, Suro dan Muharram mengajarkan kita untuk kembali membaca langit malam, bukan sekadar jadwal kalender. Karena dari malam itulah, sebuah tahun dimulai—bukan dengan pesta, tetapi dengan doa. (*)