Rabu, Juni 18, 2025
No menu items!

Kisah dalam Al-Quran: Jejak dari Taurat dan Injil

Ketika umat Islam awal mencari sejarah para nabi, mereka tak berpaling ke waktu, melainkan ke kisah. Di sanalah para pendongeng mengambil peran.

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Di antara mimbar masjid dan pasar-pasar padang pasir, para qushash—pendongeng yang gemar berbicara panjang dari satu kisah ke kisah lain—menjadi pelipur dan pencerah umat Islam awal. Mereka mengisi kekosongan sejarah yang tak dijelaskan Al-Qur’an secara utuh: bagaimana nabi-nabi terdahulu saling bersambung? Bagaimana dunia dimulai dan akan berakhir?

Pertanyaan-pertanyaan itu tak dijawab dalam bentuk kronologi atau tafsir linear oleh wahyu, melainkan melalui dongeng, hikayat, dan tradisi lisan yang gemuk oleh imajinasi. “Mereka bukan sekadar tukang cerita,” tulis William Montgomery Watt dalam Titik Temu Islam dan Kristen: Persepsi dan Salah Persepsi (Gaya Media Pratama, 1996). “Tapi semacam sejarawan awam yang membentuk narasi kolektif umat Islam.”

Kebanyakan kisah yang dibawakan qushash bersumber dari kitab-kitab sebelum Al-Qur’an—Taurat, Injil, dan teks-teks Yahudi lainnya—yang oleh para ulama kemudian disebut Isra’iliyyat. Dua nama mencolok dari generasi awal adalah Ka’ab al-Ahbar, mantan rabi dari Yaman, dan Wahb ibn Munabbih, seorang pembaca rakus kitab kuno yang diyakini menulis al-Mubtada’, kitab yang membentangkan sejarah dari Adam hingga Isa.

Melalui tangan-tangan mereka, sejarah para nabi dipatrikan ke dalam ingatan kolektif umat, tak jarang dengan bumbu-bumbu dramatik yang tak bersumber dari teks suci. “Dalam al-Mubtada’, Wahb merangkai kisah dari penciptaan hingga kenabian Muhammad, menjembatani celah antara wahyu dan sejarah,” kata Gordon Darnell Newby, profesor agama dari Emory University, dalam bukunya The Making of the Last Prophet (1989).

Newby menilai, yang dilakukan Wahb dan Ibn Ishaq—penyusun Sirah Nabawiyah pertama—bukan sekadar merekam peristiwa, tapi “membuat sejarah kenabian sebagai satu alur waktu yang utuh.”

Kisah dan Kecurigaan

Namun tak semua kalangan sepakat dengan metode para pengisah. Para fakih dan ahli hadits memandang dongeng-dongeng ini penuh celah: antara hikmah dan fiksi, antara nas dan nalar. Beberapa bahkan mendorong pembatasan cerita qushash di ruang-ruang publik karena dianggap membingungkan umat.

Kritik keras muncul dari generasi salaf, terutama karena sebagian besar kisah para nabi itu bertentangan dengan semangat tauhid murni Al-Qur’an. Misalnya, identifikasi Dzulqarnain dalam QS. 18:83-98 sebagai Alexander Agung yang berasal dari sumber Yunani dan Kristen. Atau deskripsi Isa yang lahir di bawah pohon kurma di Bethlehem, sebagaimana muncul dalam qushash, bukan berdasarkan dalil eksplisit dalam Al-Qur’an.

Tetapi terlepas dari kritik itu, pengaruh mereka sudah telanjur mengendap dalam imajinasi keislaman hingga hari ini. Bahkan nama-nama seperti Luqman, Khidr, dan Sheba tetap populer dalam khazanah umat meski keabsahan kisah mereka sering dipertanyakan.

Setelah Islam memasuki fase ekspansi—dari Persia hingga Andalusia—kisah para nabi bukan lagi sekadar nostalgia masa lampau. Ia menjadi legitimasi atas misi besar umat sebagai pewaris risalah. Muhammad, yang disebut sebagai khatam al-anbiya’ (penutup para nabi) dalam QS. 33:40, ditempatkan sebagai titik kulminasi sejarah profetik.

“Sebagian umat Islam awal menafsirkan ini bukan hanya sebagai akhir kenabian, tetapi juga sebagai akhir zaman wahyu universal,” tulis Watt (hlm. 43). Maka kemenangan demi kemenangan militer Islam dilihat sebagai penanda kosmis: bahwa umat ini adalah penerus sah dari para nabi terdahulu.

Doktrin ini menyusup ke dalam politik, hukum, bahkan geopolitik. Dari sanalah lahir gagasan dar al-Islam dan dar al-harb, serta legitimasi atas perluasan wilayah sebagai pewarisan risalah. Narasi sejarah menjadi justifikasi religius—di mana umat Islam adalah mata rantai terakhir dari sejarah yang telah disusun para pendongeng.

Dongeng yang Tertantang Zaman

Namun kini, dalam dunia yang digerakkan nalar kritis dan disiplin sejarah modern, kisah-kisah qushash mulai ditinjau ulang. Banyak sarjana Muslim kontemporer menggunakan pendekatan arkeologi, hermeneutika Al-Qur’an, dan kajian tekstual untuk memilah antara tradisi naratif dan warisan teologis.

Yang tersisa dari para qushash bukan lagi dianggap sejarah mutlak, tetapi sebagai lensa budaya—cara umat awal memahami masa lalu dengan perangkat yang mereka miliki. Dan sebagaimana kata Newby, “Ibn Ishaq tak sedang menulis sejarah dalam pengertian modern, tapi sedang membangun legitimasi kenabian.”

Sejarah profetik, pada akhirnya, lebih mirip jembatan daripada peta. Ia menghubungkan masa silam dengan masa kini, tapi tak selalu menunjukkan arah yang pasti. Di antara iman dan kisah, umat Islam menggantungkan ingatan kolektifnya pada apa yang dahulu dipercaya—dan kini harus ditafsirkan kembali.

Israel Pembunuh Jurnalis Nomor 1 di Dunia

JAKARTAMU.COM | Serangan Israel terhadap Stasiun Televisi Pemerintah Iran (IRIB) pada Senin (15/6/2025), menewaskan editor berita Nima Rajabpour dan...
spot_img
spot_img

More Articles Like This