JAKARTAMU.COM | Di akhir tahun 2024, suasana ruang rapat di Menara BTN terasa hangat. Kala itu, pimpinan Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. atau BTN dan perwakilan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah duduk satu meja, membicarakan satu agenda besar: spin-off BTN Syariah.
Muhammadiyah sempat digadang-gadang menjadi calon pemegang saham BTN Syariah, langkah yang akan memperkuat positioning bank syariah pelat merah ini di industri keuangan syariah nasional. Bahkan, BTN sempat membuka peluang Muhammadiyah untuk duduk di kursi dewan komisaris.
Namun, semua rencana itu berakhir menggantung. “Kelihatannya mereka nggak tertarik di sini, atau ada pemikiran lain,” kata Direktur Utama BTN Nixon L.P. Napitupulu saat konferensi pers di Jakarta, Kamis, 5 Juni 2025. “Cuma kerja sama di equity aja yang kelihatannya sampai hari ini belum terjadi.”
BTN sejatinya punya hitung-hitungan strategis dalam menggandeng Muhammadiyah. Dengan lebih dari 20 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) di bawah naungan organisasi tersebut, Muhammadiyah dianggap bisa menghadirkan ekosistem keuangan syariah yang solid. Tapi syarat regulator mengharuskan konsolidasi seluruh BPRS milik Muhammadiyah membuat langkah ini berat di awal.
Batalnya Muhammadiyah masuk dalam struktur kepemilikan BTN Syariah tak lantas menghambat langkah spin-off. Lewat akuisisi PT Bank Victoria Syariah (BVIS) senilai Rp1,5 triliun, BTN menyiapkan perusahaan cangkang untuk BTN Syariah. Proses akuisisi dilakukan dengan skema clean base, tanpa membawa kredit dan dana pihak ketiga yang menyulitkan proses valuasi.
“Supaya hidup kami lebih mudah,” kata Nixon berseloroh.
Lewat aksi korporasi ini, BTN Syariah ditargetkan memiliki modal awal sekitar Rp6 triliun, mencakup suntikan rights issue senilai Rp1 triliun pada September mendatang. Target tersebut disusun demi memenuhi syarat bank KBMI 2 serta menjaga rasio kecukupan modal (CAR) di level 18–19 persen.
Spin-off ini juga tidak main-main dalam ukuran. Per Oktober nanti, BTN Syariah ditargetkan memegang aset hingga Rp67 triliun. Jika terealisasi, mereka akan menjadi bank syariah terbesar kedua setelah PT Bank Syariah Indonesia (BSI).
Langkah ini merupakan bagian dari rencana jangka panjang BTN yang ingin menjadikan BTN Syariah sebagai pemain utama pembiayaan rumah berbasis syariah. Performa unit syariah BTN sejauh ini memang solid: laba bersih mencapai Rp535 miliar per kuartal III-2024, naik 33,6 persen dibanding tahun sebelumnya. Pembiayaan tumbuh hampir 20 persen menjadi Rp42,7 triliun, sedangkan DPK melesat 31,5 persen menjadi Rp47,6 triliun.
“BTN Syariah punya DNA pembiayaan perumahan yang kuat. Itulah keunggulannya,” ujar Nixon.
Namun tanpa Muhammadiyah, BTN harus bersiap membangun jaringan keuangan syariahnya sendiri. Padahal, Muhammadiyah bukan sekadar institusi keagamaan, tapi juga kekuatan sosial-ekonomi dengan jutaan anggota, ribuan sekolah, rumah sakit, hingga koperasi yang bisa menjadi bagian dari ekosistem bisnis.
Tak heran jika batalnya kerja sama ini menyisakan pertanyaan: apakah ini semata karena kalkulasi bisnis, atau ada dinamika yang lebih dalam di balik meja?
BTN tidak menutup pintu sepenuhnya. “Bisnis dengan Muhammadiyah tetap berjalan,” kata Nixon. Tapi narasi besar soal sinergi antara bank syariah pelat merah dan organisasi Islam terbesar itu, setidaknya untuk saat ini, masih tertunda. (*)