MALAM menelan Pulau Kecil dalam kegelapan pekat. Angin laut bertiup dingin, membuat daun-daun bakau bergemerisik seperti bisikan samar. Di dalam pondok reyot, Rifki, Tegar, dan Hasan duduk mengelilingi sebuah lentera kecil, merencanakan langkah mereka selanjutnya.
“Kita harus bergerak sebelum mereka menemukan kita,” kata Rifki dengan nada tegas.
Hasan mengangguk. “Mereka pasti sedang mencari kita. Jika kita menunggu, kita hanya memberi mereka kesempatan untuk mempersempit pencarian.”
Tegar menyilangkan tangan di dada. “Jadi apa rencanamu? Kita tak punya cukup orang untuk melawan mereka secara terbuka.”
Rifki mengeluarkan peta kasar dari saku jaketnya. “Kita tak butuh banyak orang. Kita hanya perlu membuat mereka panik.”
Ia menunjuk sebuah titik di dekat pelabuhan. “Ini gudang logistik mereka. Tempat mereka menyimpan bahan bakar, alat berat, dan sebagian besar senjata ringan. Jika kita bisa menghancurkan gudang itu, kita akan menghambat gerakan mereka.”
Hasan menghela napas panjang. “Itu ide gila. Tapi aku suka.”
Tegar menatap kedua sahabatnya, lalu tersenyum tipis. “Baiklah. Aku ikut.”
Malam semakin larut saat mereka menaiki perahu kecil dan mendayung dengan hati-hati ke arah daratan. Mereka memilih jalur yang jarang digunakan, menghindari patroli yang kemungkinan besar sedang mengawasi perairan sekitar.
Setelah menepi di sebuah hutan bakau, mereka berjalan menyusuri jalur setapak yang jarang dilewati orang. Hasan berjalan di depan, mengenali setiap lekukan jalan seperti punggung tangannya. Rifki berada di tengah, membawa ransel berisi beberapa botol bensin dan bahan peledak rakitan sederhana yang mereka buat dari pupuk dan solar. Tegar berjalan di belakang, menggenggam pistol kecil yang diberikan Pak Widi.
Mereka berhenti di sebuah bukit kecil yang menghadap ke pelabuhan. Dari tempat itu, mereka bisa melihat gudang logistik yang menjadi target mereka. Bangunan itu dikelilingi pagar kawat dan dijaga oleh beberapa orang bersenjata.
“Kita tak bisa masuk begitu saja,” bisik Hasan.
“Tapi kita bisa membuat kekacauan dari luar,” jawab Rifki sambil mengeluarkan sebuah botol molotov.
Tegar mengamati keadaan sekitar. “Kita harus memastikan mereka tak bisa segera memadamkan api.”
Hasan mengangguk. “Aku bisa memutuskan pipa air di belakang gedung itu. Dengan begitu, mereka akan kesulitan mendapatkan air untuk memadamkan api.”
Rifki tersenyum tipis. “Baiklah. Kita bergerak.”
Mereka menyelinap turun dengan hati-hati, memanfaatkan kegelapan sebagai perlindungan. Hasan bergerak lebih dulu menuju sisi belakang gudang, mencari pipa air utama. Sementara itu, Rifki dan Tegar bersiap dengan botol-botol molotov mereka.
Saat Hasan memberikan isyarat, Rifki menyalakan sumbu molotov pertama dan melemparkannya ke arah pintu gudang. Botol itu pecah dengan suara keras, menyulut kobaran api yang langsung menjalar ke dinding kayu.
Tegar mengikuti dengan lemparan kedua, kali ini mengenai tumpukan jerigen bahan bakar yang berada di luar gedung. Ledakan kecil terjadi, membuat api semakin besar.
Teriakan penjaga terdengar dari dalam gudang. Mereka berhamburan keluar dengan panik, beberapa di antaranya langsung mencoba mencari air untuk memadamkan api. Namun, Hasan sudah berhasil memutuskan pipa air.
“Airnya mati! Airnya mati!” salah satu penjaga berteriak.
Rifki dan yang lainnya segera mundur ke arah bukit kecil, menghindari kemungkinan serangan balasan. Dari kejauhan, mereka melihat api melahap gudang dengan cepat.
Tegar tersenyum puas. “Itu akan membuat mereka repot.”
Hasan mengangguk. “Tapi kita harus pergi sebelum mereka menyadari siapa pelakunya.”
Rifki menatap api yang semakin besar, lalu menarik napas dalam. “Ini baru permulaan.”
Namun, mereka tak menyadari satu hal—Bram ada di sana.
Dari kejauhan, Bram mengamati kebakaran itu dengan rahang mengatup. Luka di pundaknya masih berdenyut akibat tembakan Rifki sebelumnya, tapi kemarahannya jauh lebih besar dari rasa sakitnya.
“Ikut aku,” katanya pada dua anak buahnya. “Kita akan cari mereka.”
Bram bukan orang bodoh. Ia tahu siapa yang ada di balik semua ini. Dan ia tidak akan berhenti sebelum menemukan mereka.
Di sisi lain, Rifki dan kawan-kawannya sudah kembali ke perahu mereka. Mereka mendayung kembali ke Pulau Kecil dengan cepat, berharap bisa bersembunyi sampai keadaan lebih tenang.
Namun, saat mereka hampir mencapai pulau, mereka melihat sesuatu yang membuat jantung mereka berdegup kencang.
Sebuah kapal besar dengan lampu sorot terang mendekati Pulau Kecil. Di geladaknya, terlihat beberapa orang bersenjata.
Hasan mengumpat pelan. “Mereka menemukan tempat kita.”
Tegar mencengkeram dayung dengan erat. “Kita harus ke mana sekarang?”
Rifki berpikir cepat. “Kita tak bisa ke Pulau Kecil. Kita harus mencari tempat lain untuk bersembunyi.”
Hasan menatap ke arah selatan. “Ada satu tempat. Hutan bakau di ujung teluk. Tempat itu cukup luas dan sulit dijangkau.”
Tanpa ragu, mereka mengarahkan perahu mereka ke selatan, menjauh dari Pulau Kecil yang kini tak lagi aman.
Di atas kapal, Bram mengamati Pulau Kecil dengan penuh kepuasan.
“Mereka pasti ada di sini,” katanya. “Cari mereka. Jika perlu, bakar tempat ini.”
Anak buahnya segera bergerak, menyalakan obor dan bersiap turun ke daratan.
Namun, saat mereka tiba di pondok tua itu, mereka hanya menemukan ruangan kosong dan sisa-sisa jejak yang sudah mulai pudar.
Bram mengepalkan tangan.
“Kalian boleh lari,” gumamnya. “Tapi aku akan menemukan kalian.”
Sementara itu, di dalam hutan bakau, Rifki, Hasan, dan Tegar bersembunyi di antara akar-akar besar yang menjulang dari lumpur.
Mereka tahu bahwa pertempuran belum berakhir. Mereka harus bertahan. Mereka harus melawan. Karena ini bukan lagi tentang mempertahankan tanah—ini tentang kehormatan, tentang melawan keangkaramurkaan yang telah terlalu lama berkuasa. (*)
(Bersambung ke seri-20: Pertempuran Terakhir di Pagar Laut)