GAGALNYA Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjadi pemegang saham dalam proses spin-off BTN Syariah menyisakan tanda tanya besar sekaligus kekecewaan. Di saat perbankan syariah tengah tumbuh, dan BTN Syariah bersiap lepas landas sebagai entitas mandiri, absennya Muhammadiyah dari lini depan transformasi ini justru menjadi ironi.
Muhammadiyah bukan sekadar organisasi kemasyarakatan keagamaan. Dengan jejaring luas di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, Muhammadiyah adalah kekuatan sosial ekonomi yang jika digandeng secara strategis, bisa memperkuat ekosistem syariah nasional secara signifikan.
Ajakan BTN kepada Muhammadiyah untuk masuk sebagai pemegang saham, bahkan menempati kursi dewan komisaris, semestinya dilihat sebagai peluang langka. Sayangnya, dua kali pertemuan berakhir tanpa tindak lanjut. BTN menyimpulkan: Muhammadiyah tidak tertarik.
Padahal, langkah BTN bukan sekadar aksi korporasi. Ini adalah langkah strategis untuk membesarkan unit usaha syariah yang telah membuktikan kinerja impresif.
Aset BTN Syariah per akhir 2024 menembus Rp60,56 triliun. Laba bersihnya tumbuh 33,6% secara tahunan. Dana pihak ketiga naik 31,5%.
Semua indikator menunjukkan BTN Syariah adalah entitas yang siap menjadi pemain utama di sektor perbankan syariah, khususnya pada segmen pembiayaan perumahan.
BTN telah merancang spin-off ini secara matang: mengakuisisi PT Bank Victoria Syariah sebagai kendaraan legal, menggelontorkan modal tambahan hingga Rp6 triliun, dan memproyeksikan aset mencapai Rp100 triliun dalam tiga tahun.
Visi besar itu mestinya menjadi magnet bagi institusi seperti Muhammadiyah yang telah lama menyuarakan pentingnya kemandirian ekonomi umat.
Tentu, kita tidak bisa memaksakan niat baik. Muhammadiyah mungkin punya pertimbangan lain. Termasuk tuntutan OJK agar menggabungkan sekitar 20 BPRS miliknya sebelum masuk ke dalam BTN Syariah, bisa jadi dianggap memberatkan. Namun publik berhak bertanya: mengapa kesempatan sebesar ini tidak dipertimbangkan lebih serius?
Di tengah geliat ekonomi syariah yang belum sepenuhnya optimal, sinergi antara BUMN dan ormas keagamaan besar seperti Muhammadiyah justru sangat dibutuhkan. Kolaborasi ini bukan semata soal saham, melainkan tentang membangun sistem keuangan yang lebih inklusif, adil, dan berakar pada nilai-nilai yang dianut mayoritas bangsa.
BTN Syariah akan tetap melaju. Spin-off ini, jika sesuai rencana, rampung Oktober 2025. Targetnya pun tidak main-main: menjadi bank syariah terbesar kedua di Indonesia, di bawah Bank Syariah Indonesia. Namun catatan sejarah akan mencatat bahwa saat undangan terbuka disodorkan, salah satu organisasi Islam terbesar di negeri ini memilih absen dari panggung utama.
Kesempatan memang tidak datang dua kali. Namun semangat membangun ekonomi syariah seharusnya tak lekang oleh waktu. Masih ada ruang kolaborasi. Masih ada jalan sinergi.
Namun, selanjutnya bukan sekadar ajakan yang dibutuhkan, melainkan komitmen bersama membangun masa depan keuangan syariah Indonesia.