Rabu, Juni 25, 2025
No menu items!

Jejak Iman di Bulan Pertama: Muharram dan Semangat Asyura

Must Read

JAKARTAMU.COM | Tahun baru 1447 Hijriah jatuh pada 27 Juni 2025. Di tengah gegap gempita resolusi duniawi dan target-target tahunan, umat Islam disodori satu perenungan lebih dalam: Muharram bukan sekadar pergantian tanggal, melainkan pintu untuk memulai hidup baru dalam bingkai penghambaan.

Dari mimbar ke mimbar, dari ruang digital hingga majelis ilmu, Muharram kembali ditandai dengan ajakan memperbanyak amal saleh, bertobat, dan—yang paling disorot—menjalankan puasa sunnah, terutama pada hari Tasu’a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram).

Di sinilah warisan Rasulullah Muhammad SAW diuji: akankah sunnah yang penuh makna spiritual ini tetap dirawat oleh umat, atau sekadar dibaca ulang tiap tahun baru tanpa transformasi nyata?

Bukan Bulan Biasa

Muharram bukan bulan biasa dalam kalender Islam. Ia termasuk bulan haram, yaitu empat bulan yang dimuliakan Allah dan dilarang untuk berperang di dalamnya. Tiga bulan lainnya adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Tapi Muharram disebut oleh Nabi dengan ungkapan penuh kasih: “Syahrullah al-Muharram”, bulan Allah Muharram.

Ini satu-satunya bulan yang disandingkan langsung dengan nama Allah dalam hadis. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi bersabda:

“Sebaik-baik puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan Allah, yaitu bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Di balik penamaan itu ada sinyal kuat: Muharram bukan ruang hampa dalam kalender, tapi panggung pembuka untuk momentum taubat, pemurnian niat, dan penguatan hubungan spiritual dengan Allah SWT.

Dari Tradisi Yahudi ke Sunnah Nabi

Bagi umat Islam, 10 Muharram adalah hari paling disorot di bulan ini. Hari ini dikenal sebagai Asyura, dan memiliki sejarah panjang yang melintasi agama.

Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah dan melihat kaum Yahudi berpuasa pada hari itu untuk memperingati kemenangan Nabi Musa atas Fir’aun, beliau bersabda:

“Kami lebih berhak atas Musa daripada mereka.”
“Puasalah kalian.” (HR. Al-Bukhari)

Maka sejak itu, puasa Asyura menjadi ibadah sunnah yang sarat makna sejarah dan spiritual. Nabi bahkan menjelaskan keutamaannya:

“Puasa Asyura dapat menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

Di sinilah terletak daya tarik sekaligus tantangannya: umat Islam ditawari kesempatan menyapu bersih kesalahan setahun hanya dengan satu hari puasa. Tapi seperti halnya amal lain, niat dan kesungguhanlah yang membedakan rutinitas dengan ibadah.

Keteladanan dalam Tradisi: Mainan Kain untuk Anak-anak

Narasi Asyura dalam Islam tidak berhenti pada doktrin, tapi menjelma jadi budaya ibadah yang menyentuh berbagai lapisan. Dalam satu riwayat yang dikutip Imam al-Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa para sahabat bahkan mengajak anak-anak kecil mereka ikut berpuasa Asyura. Jika mereka menangis karena lapar, para ibu membuatkan mainan dari kain agar anak-anak itu terhibur hingga waktu berbuka.

Tradisi ini menunjukkan bahwa puasa Asyura bukan semata ritual individual, melainkan praktik komunitas yang dibangun dalam semangat pembiasaan sejak dini. Asyura adalah pendidikan ruhani yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Perbedaan Pendapat: Satu Hari, Dua Hari, atau Tiga Hari?

Tapi kapan sebaiknya puasa Asyura dilakukan? Di sinilah umat Islam bertemu dengan khazanah perbedaan pendapat yang sehat dan kaya.

  1. Tingkatan tertinggi: Puasa tiga hari—tanggal 9, 10, dan 11 Muharram. Ini sebagaimana dianjurkan oleh Imam Ibnu Qayyim sebagai bentuk kehati-hatian sekaligus kesempurnaan mengikuti sunnah.
  2. Tingkatan kedua: Puasa dua hari—tanggal 9 dan 10. Berdasarkan hadis bahwa Nabi bersabda, “Jika aku masih hidup tahun depan, aku akan puasa pada hari kesembilan.”
  3. Tingkatan ketiga: Hanya tanggal 10. Ini dipandang tetap sah, meski sebagian ulama seperti Ibn Baz menilainya makruh karena menyerupai kebiasaan orang Yahudi.

Namun ulama lain seperti Ibnu Utsaimin berpendapat tidak makruh, karena maksud Nabi menyelisihi Yahudi lebih kepada keutamaan, bukan keharusan. Artinya, puasa pada tanggal 10 saja tetap berpahala, hanya saja lebih baik jika digandengkan dengan tanggal 9 atau 11.

Politik Spiritualitas: Di Mana Negara?

Ketika pemerintah sibuk menyiapkan agenda-agenda tahunan, pertanyaannya: apakah amalan Muharram masuk dalam prioritas spiritual yang dijaga negara?

Kementerian Agama memang merilis program-program seperti “Ngaji Fasholatan” dan “1.000 Masjid Inklusif”, tapi penguatan narasi tahun baru Hijriah dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya masih terpinggirkan oleh euforia kalender masehi dan budaya populer.

Muharram semestinya bukan sekadar agenda seremonial tahunan, melainkan ruang transformatif. Bukan sekadar mengganti kalender di dinding, tapi mengganti paradigma hidup—dari alpa menjadi taat, dari lalai menjadi sadar.

Tantangan Generasi: Menjadikan Hijrah Sebagai Arah Hidup

Hijrah Nabi ke Madinah, yang menjadi patokan kalender Hijriyah, bukan sekadar perpindahan fisik. Ia adalah transformasi total dari penindasan menuju peradaban. Tahun baru Hijriah semestinya menjadi pemicu hijrah spiritual: meninggalkan dosa menuju taubat, meninggalkan nafsu menuju akal, meninggalkan ego menuju ridha Tuhan.

Di sinilah Muharram berbicara banyak: bahwa jihad tak harus selalu di medan perang. Jihad yang lebih besar adalah melawan diri sendiri—dan puasa Asyura adalah salah satu jalannya.

Ketika media sosial diramaikan ucapan “Selamat Tahun Baru Hijriah”, saat itulah kita patut bertanya: untuk apa tahun ini dimulai?

Jika jawabannya adalah untuk menjadi lebih baik, maka Muharram telah memberi kita jawabannya: puasa, taubat, dzikir, dan amal saleh.

Karena sejatinya, kalender Hijriah bukan sekadar penanda waktu. Ia adalah pengingat arah.

Satu Kalender, Satu Umat, Satu Peradaban

LANGKAH Muhammadiyah meluncurkan dan secara resmi memberlakukan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) patut dicatat sebagai peristiwa monumental dalam sejarah...
spot_img
spot_img

More Articles Like This