JAKARTAMU.COM | Hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal itu menjadi semacam kompas sejarah bagi kaum Muslimin lintas generasi. Kalimat ini, sebagaimana arus bawah tanah yang tak pernah padam, terus merembes dari masjid ke medan perang, dari mimbar khatib ke bilik strategi istana.
Namun untuk sampai ke pintu gerbang Konstantinopel, jalan yang ditempuh bukan sekadar bentangan medan perang. Ia juga adalah perjalanan waktu: dari sahabat Nabi hingga pahlawan Utsmani, dari reruntuhan upaya hingga genapnya takdir sejarah.
Lebih dari delapan abad sebelum Sultan Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel pada 1453 M, para pemimpin Islam sudah meretas jalan menuju kota yang disebut-sebut sebagai permata dari dua dunia: penghubung antara Timur dan Barat, antara kekuasaan dan keabadian.
Usaha pertama digerakkan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan atas restu Khalifah Utsman bin Affan pada 653 M. Ia melintasi Asia Kecil dan menyentuh pinggir Bosphorus. Lalu, tahun-tahun berikutnya, serangan datang bertubi: 664 M, 669 M, dan terakhir 678 M. Armada laut menyusup lewat Dardanella, tentara darat mengepung dari Tripoli hingga ke gerbang Konstantinopel. Namun nasib belum berpihak. Abu Ayyub al-Anshari, sahabat senior Nabi Muhammad, gugur di sana. Jazadnya dikuburkan tak jauh dari dinding kota.
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik mengirim adiknya, Maslamah, dengan pesan keras: jangan kembali sebelum kota itu ditaklukkan. Pasukannya sempat mengepung kota selama dua musim dingin—hingga akhirnya kabar wafatnya sang khalifah, kelaparan, dan musim dingin ekstrem memaksa mereka mundur. Konstantinopel lagi-lagi bertahan, dan bayang-bayangnya tetap menggoda.
Setelah gelombang gagal dari para sahabat dan tabiin, giliran Dinasti Abbasiyah mencoba peruntungan. Harun al-Rasyid, putra Khalifah al-Mahdi, menyapu Anatolia hingga ke Scutari—bukit di seberang selat yang memandang megah ke kota Byzantium. Ibunda Kaisar Konstantin VI, Eyrene, akhirnya menyerah dan membayar upeti tahunan. Tapi kota tetap tak tergoyahkan.
Konstantinopel, dalam terminologi peradaban Islam, bukan sekadar kota. Ia adalah lambang kesombongan Romawi Timur, sekaligus saksi tantangan kenabian. Dari tahun ke tahun, ia seperti fatamorgana yang selalu dekat namun tak terjangkau.
Dinasti Utsmani yang baru tumbuh sebagai kekuatan di Balkan tak melewatkan impian lama ini. Sultan Bayazid I, sang “Petir”, melancarkan pengepungan pertama dari pihak Utsmani pada 1395 M. Tapi medan sejarah kadang tak ramah bagi ambisi. Dari timur, pasukan Timur Leng menyerbu wilayah Anatolia. Pengepungan pun bubar. Bayazid berhadapan langsung dengan Timur dalam pertempuran Angkara, kalah, ditawan, dan wafat dalam tawanan.
Impian menaklukkan Konstantinopel seperti retak bersama keruntuhan sementara dinasti Utsmani setelah itu.
Baru di masa Murad II, semangat jihad untuk membebaskan Konstantinopel kembali disemai. Tapi lagi-lagi, strategi Byzantium yang bermain di antara friksi internal kaum Muslimin membuat pengepungan tak efektif. Kaisar Byzantium memberi sokongan pada pemberontak-pemberontak lokal. Siasat ini berhasil memecah fokus Sultan Murad II.
Namun, satu hal tak mati: wasiat. Murad mewariskan semangat itu kepada putranya, pemuda 19 tahun yang kelak digelari al-Fatih.
Muhammad al-Fatih dan Mesin Waktu Sejarah
Pada 5 Muharam 855 H (7 Februari 1451 M), Muhammad II naik takhta. Muda, cerdas, dan religius. Ia segera menemui ulama kepercayaannya, Syeikh Aq Syamsuddin, dan menyusun rencana besar. Benteng Rumeli Hisari dibangun hanya dalam waktu 4 bulan, tepat di seberang benteng Anadolu Hisari yang didirikan kakeknya. Dua rahang baja kini menjepit Bosphorus.
Ia merekrut insinyur top seperti Orban, memperkuat artileri, dan melatih 250.000 pasukan jihad. Perjanjian-perjanjian politik dengan tetangga diperbarui untuk menetralkan dukungan kepada Byzantium. Namun diplomasi tak bisa memadamkan ketakutan Eropa. Genoa, Venesia, dan Paus di Roma bersatu mengirim bantuan ke Konstantinopel.
Sementara itu, di daratan, Sultan Muhammad menyiapkan rencana yang bahkan sejarah pun belum menuliskannya sebelumnya.
Golden Horn—teluk alami yang jadi pelabuhan dan pelindung Konstantinopel—dipagari rantai besi raksasa. Tak satu pun kapal bisa masuk. Sultan Muhammad meniru taktik kuno para pangeran Kiev di abad ke-10, namun dengan eksekusi sempurna: 70 kapal Utsmani diangkut melewati bukit Galata dalam satu malam menggunakan batang kayu yang diminyaki.
Pagi harinya, dunia menyaksikan sejarah membelok tajam. Armada Muslimin muncul di dalam Tanduk Emas, mengepung kota dari belakang.
Di darat, meriam raksasa Orban mengguncang tembok Theodosius. Satu demi satu celah terbuka, tapi tentara Byzantium menambalnya cepat. Sultan Muhammad pun mencoba strategi lain: menggali terowongan bawah tanah. Upaya itu sempat menciptakan kepanikan, tapi belum menembus benteng.
Sujud di Gerbang Hagia Sophia
Pada 27 Mei 1453, Sultan Muhammad memerintahkan seluruh pasukannya berpuasa, salat, dan berdoa. “Jika bukan karena Allah, maka kota ini tak mungkin ditaklukkan,” begitu pesan sang Sultan.
Pada dini hari 29 Mei 1453, serangan puncak dimulai. Dari segala penjuru, pasukan Muslim menyerbu benteng. Takbir membahana. Celah yang terbuka di pintu Edirne menjadi titik masuk. Bendera Daulah Utsmani berkibar di puncak kota. Kaisar Constantine XI gugur bersama pasukannya, jasadnya tak pernah ditemukan. Giustiniani dari Genoa terluka dan melarikan diri.
Saat memasuki Konstantinopel, Sultan Muhammad turun dari kudanya dan sujud syukur. Ia langsung menuju Hagia Sophia dan memerintahkannya jadi masjid. Gereja-gereja lain tetap utuh, penduduk Kristen dan Yahudi dilindungi sebagai dzimmi. Tak ada pembantaian. Tak ada pembakaran. Hanya penaklukan dan transformasi.
Nama kota itu diubah menjadi Islambul—”kota Islam seluruhnya”. Sultan al-Fatih membangun sekolah gratis, rumah sakit, pasar, dan membagi rumah kepada warga baru tanpa melihat agama.
Ia juga membangun masjid di makam Abu Ayyub al-Anshari, yang makamnya ditemukan di bawah bimbingan spiritual Syekh Aq Syamsuddin. Itulah simbol bahwa misi sejarah yang dimulai sejak para sahabat Nabi, akhirnya tuntas dengan cara yang paling megah.
Dan sejak hari itu, dunia pun tahu: hadis Nabi bukan hanya kalimat, ia adalah peta. Konstantinopel bukan sekadar kota, tapi takdir. Dan Muhammad al-Fatih bukan sekadar raja, tapi jawaban dari mimpi yang tak pernah padam.