JAKARTAMU.COM |Dia adalah salah seorang di antara dua bersaudara yang hidup mengabdikan diri kepada Allah, dan telah mengikat janji dengan Rasulullah SAW.
Mereka yang pertama bernama Anas bin Malik pembantu Rasulullah SAW. Ibunya bernama Ummu Sulaim membawanya kepada Rasul, saat usianya baru sepuluh tahun. “Ya Rasulullah … Ini Anas, pelayan Anda yang akan melayani Anda, doa’akanlah ia kepada Allah!” ujar Ummu Sulaim saat menyerahkan putranya itu.
Rasulullah mencium anak itu antara kedua matanya lalu mendoakannya. Rasul telah mendo’akannya dengan kata-kata: ”Ya Allah banyakkanlah harta dan anaknya, berkatilah ia dan masukkanlah ia ke surga.”
la hidup, sampai usia 99 tahun dan diberi-Nya anak dan cucu yang banyak. Begitu pula Allah memberinya rezeki, berupa kebun yang luas dan subur, yang dapat menghalalkan panen buah-buahan dua kali dalam setahun.
Kedua adalah Barra’ bin Malik. la termasuk golongan terkemuka dan terhormat, menjalani kehidupannya dengan bersemboyan Allah dan surga. Dan barang siapa melihatnya ia sedang berperang mempertahankan Agama Allah, niscaya akan melihat hal ajaib di balik ajaib.
Ketika ia berhadapan pedang dengan orang-orang musyrik, Barra’ bukanlah orang yang hanya mencari kemenangan, sekalipun kemenangan termasuk tujuan, tetapi tujuan akhirnya ialah mencari syahid.
Seluruh cita-citanya mati syahid, menemui ajalnya di salah suatu gelanggang pertempuran dalam mempertahankan haq dan melenyapkan batil. Dia tak pernah ketinggalan dalam setiap peperangan baik bersama Rasul ataupun tidak.
Pada suatu hari teman-temannya datang mengunjunginya, ia sedang sakit, dibawanya air muka mereka lalu katanya: “Mungkin kalian takut aku mati di atas tempat tidurku. Tidak, demi Allah, Tuhan tidak akan menghalangiku mati syahid.”
Allah benar-benar telah meluluskan harapannya. Ia tidak mati di atas tempat tidurnya, tetapi ia gugur menemui syahid dalam salah satu pertempuran yang terdahsyat.
Kepahlawanan Barra’ di medan perang Yamamah wajar dan cocok dengan watak serta tabiatnya. Wajar untuk seorang pahlawan yang sampai-sampai Umar mewasiatkan agar ia jangan jadi komandan pasukan, disebabkan keberaniannya yang luar biasa, keperwiraan dan ketetapan hatinya menghadang maut. Semua sifatnya itu akan menyebabkan kepemimpinannya dalam pasukan membahayakan anak buahnya dan dapat membawa kebinasaan.
Barra’ berdiri di medan perang Yamamah, ketika balatentara Islam yang berada di bawah komando Khalid, bersiap-siap untuk menyerbu. la berdiri dan merasakan detik-detik itu, yakni saat sebelum panglimanya memerintahkan maju, amat lama sekali, bertahun-tahun layaknya.
Kedua matanya yang tajam bergerak-gerak dengan cepatnya menyelusuri seluruh medan tempur, seolah-olah sedang mencari-cari tempat bersemayam yang sebaik-baiknya untuk seorang pahlawan. Memang tak ada yang menyibukkannya di antara segala urusan dunia, kecuali tujuan Yang satu ini.
Dimulai dengan berjatuhannya korban di pihak kaum musyrikin penyeru kedhaliman dan kebathilan akibat ketajaman dan tebasan pedangnya al-Barra’ yang ampuh.
Kemudian di akhir pertempuran, suatu pukulan pedang mengenai tubuhnya dari tangan seorang musyrik, menyebabkan tubuh kasarnya jatuh ke tanah, sementara tubuh halusnya menempuh jalannya membubung ke tingkat yang tertinggi ke mahligai para syuhada tempat kembalinya orang-orang yang beroleh berkah.
Itulah khayalannya ketika ia menunggu kamando. Khalid mengumandangkan takbir “Allahu Akbar”, maka majulah seluruh barisan yang bersatu-padu menuju sasarannya, dan maju pula peng’asyik maut Barra’ bin Malik.
la terus mengejar anak buah dan pengikut si pembohong Musailamah dengan pedangnya, hingga mereka berjatuhan laksana daun kering di musim, rontok. Tentara Musailamah bukanlah tentara yang lemah dan sedikit jumlahnya. Bahkan ia adalah tentara murtad yang paling berbahaya.
Baik bilangan maupun perlawanan serta perjuangan mati-matian prajuritnya, merupakan bahaya di atas semua bahaya.
Mereka menjawab serangan Kaum Muslimin dengan perlawanan yang mencapai puncak kekerasannya sehingga hampir-hampir mereka mengambil alih kendali pertempuran dan mengubah perlawanan mereka menjadi serangan balasan. Waktu itulah kegelisahan terasa merembes ke dalam barisan Kaum Muslimin. Melihat situasi ini, para komandan dan pimpinan pasukan sambil terus bertempur berdiri di atas pelana, berseru dengan kalimat-kalimat yang membangkitkan semangat dan meneguhkan hati.
Barra’ bin Malik mempunyai suara indah dan keras. la dipanggil oleh panglima Khalid, dimintanya untuk buka suara. Maka Barra pun menyerukan kata-kata yang penuh gemblengan semangat dan kepahlawanan, beralasan dan kuat. “Wahai penduduk Madinah! Tak ada Madinah bagi kalian sekarang. Yang ada hanya Allah dan surga… !” pekiknya.
Ucapan itu menunjukkan jiwa pembicaranya, dan menjelaskan watak akhlaknya. Benarlah, yang tinggal hanyalah Allah dan surga! Karena di dalam suasana dan tempat seperti ini, tidaklah wajar ada pikiran-pikiran kepada yang lain walau kota Madinah, ibu kota Negara Islam, tempat rumah tangga, isteri dan anak-anak mereka! Sekarang tidak patut mereka berpikir ke sana! Sebab bila mereka sampai dikalahkan, maka tak ada artinya kota Madinah lagi.
Kata-kata Barra’ ini meresap laksana membangkitkan semangan jihad pasukan muslimin. Dan dalam waktu yang tidak lama, suasana pertempuran pun kembali kepada keadaannya semula.
Kaum Muslimin memperoleh kemajuan sebagai pendahuluan bagi suatu kemenangan yang gemilang. Dan orang-orang musyrikin tersungkur ke jurang kekalahan yang amat pahit.
Pada saat itu Barra’ bersama kawan-kawannya berjalan dengan bendera Muhammad shallallahu alaihi wasalam hendak mencapai tujuan yang utama.
Orang-orang musyrik mundur dan melarikan diri ke belakang. Mereka berkumpul dan berlindung di suatu perkebunan besar yang mereka ambil sebagai benteng pertahanan.
Pertempuran menjadi reda, dan semangat Muslimin agak surut. Jika begini naga-naganya, dengan siasat yang dipakai anak buah serta tentara Musailamah bertahan di perkebunan itu, mungkin suasana peperangan akan berbalik dan berubah arah lagi.
Maka di saat yang genting itu, Barra’ naik ke suatu tempat yang ketinggian, lalu berseru: ‘Wahai Kaum Muslimin, bawalah aku dan lemparkan ke tengah-tengah mereka ke dalam kebun itu…!”
“Bukankah sudah kukatakan kepada anda sekalian, bahwa ia tidak mencari menang tetapi mencari syahid?”
la benar-benar telah membayangkan bahwa langkah ini adalah penutup yang terbaik bagi kehidupannya, dan bentuk yang terindah untuk kematiannya. Sewaktu ia dilemparkan ke dalam kebun itu nanti, maka ia segera membukakan pintu bagi Kaum Muslimin, dan bersamaan itu pedang-pedang orang musyrikin akan melukai dan mengoyak-ngoyak tubuhnya, tetapi di waktu itu pula pintu-pintu surga akan terbuka lebar memperlihatkan kemewahan dan kenikmatannya untuk menyambut mempelai baru dan mulia.
Barra’ rupanya tidak menunggu ia digotong dan dilemparkan, malah ia sendiri yang memanjat dinding dan melemparkan dirinya ke dalam kebun dan langsung membuka pintu yang terus diserbu oleh tentara Islam. Akan tetapi mimpi Barra’ belum lagi terlaksana, tak ada rupanya pedang-pedang musyrikin yang sampai mencabut nyawanya, hingga tidak pula ia menemukan kematian yang selama ini didambakan.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Abu Bakar radhiallahu anhu: “Songsong dan carilah kematian, pasti akan mendapatkan kehidupan!”
Memang tubuh pahlawan itu mendapat lebih dari delapan puluh tusukan dari pedang-pedang musyrikin menyebabkannya menderita luka lebih dari delapan puluh lubang, sehingga sebulan sesudah perang berlalu masih juga dideritanya, dan Khalid sendiri ikut merawatnya di waktu itu. Tetapi semua yang menimpa dirinya ini belum lagi dapat mengantarkannya kepada apa yang dicita-citakannya.
Lolos dari Maut
Setelah pulih dari luka-luka pada perang Yamamah. Ia maju lagi bersama pasukan tentara Islam dalam pembebasan Negeri Persia.
Dalam salah satu peperangan di Irak, orang-orang Persi mempergunakan setiap cara yang rendah dan biadab yang dapat mereka lakukan sebagai perlindungan. Mereka menggunakan penggaet-penggaet yang diikatkan ke ujung rantai yang dipanaskan dengan api, mereka lempar dari dalam benteng mereka, hingga dapat menyambar kaum muslimin dan menggaetnya secara tiba-tiba sedang korban tidak dapat melepaskan dirinya.
Barra’ dan abangnya Anas bin Malik mendapat tugas bersama sekelompok muslimin untuk merebut salah satu benteng-benteng itu. Tetapi tiba-tiba salah satu penggaet ini jatuh dan menyangkut ke tubuh Anas, sedang ia tidak sanggup memegang rantai untuk melepaskan dirinya, karena masih panas dan bernyala.
Barra’ menyaksikan peristiwa yang seram ini. Dengan cepat ia menuju saudaranya yang sedang ditarik ke atas alat penggaet dengan talinya yang panas menuju lantai dinding benteng.
Dengan keberanian yang luar biasa dipegangnya rantai itu dengan kedua tangannya, lalu direnggut dan disentakkannya sekuat-kuatnya, hingga akhirnya Anas dapat melepaskan diri dari rantai itu, dan selamatlah saudaranya itu dari bahaya.
Telapak tangan Bara’ bin Malik pun terkelupas. Dagingnya meleleh karena terbakar. Yang tinggal hanyalah kerangkanya, memerah coklat hangus terbakar.
Sang pahlawan menghabiskan waktu yang cukup lama untuk memulihkan luka bakarnya sampai sembuh betul.
Di perang ini Bara’ lolos dari maut. Selanjutnya Bara’ terlibat pada pertempuran Tutsur. Di sinilah balatentara Islam berhadapan dengan balatentara Persi. Dan di sini pula Barra’ dapat merayakan pestanya yang terbesar.
Penduduk Ahwaz dan Persi telah berhimpun dalam suatu pasukan tentara yang amat besar hendak menyerang Kaum Muslimin. Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab menulis surat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash di Kufah agar mengirimkan pasukan tentara ke Ahwaz. Selain itu, Khalifah Umar juga menulis surat pula kepada Abu Musa al Asy’ari di Basrah agar mengirimkan juga pasukan ke Ahwaz, sambil berpesan dalam surat itu: “Angkatlah sebagai komandan pasukan Suhail bin ‘Adi dan hendaklah ia dampingi oleh Barra’ bin Malik… !”
Dan bertemulah pasukan yang datang dari Kufah dengan yang datang dari Basrah untuk menghadapi tentara Persi di suatu pertempuran yang seru dan seram.
Di kalangan tentara Islam terdapat dua orang bersaudara utama yaitu Anas bin Malik dan Barra’ bin Malik. Pertempuran dimulai dengan perang tanding satu lawan satu; Barra’ sendiri menjatuhkan sampai seratus penantang dari Persi.
Kemudian berkecamuklah perang yang baur di antara kedua pasukan dan dari kedua belah pihak berjatuhan korban yang tak sedikit.
Sebagian sahabat mendekati Barra’ sementara perang sedang berlangsung itu; mereka menghimbaunya sambil berkata:
“Masih ingatkah engkau, hai Barra’ akan sabda Rasul tentang dirimu: Berapa banyak orang yang berambut kusut masai dan berdebu dan punya hanya dua pakaian lapuk hingga tidak diperhatikan orang sama sekali, padahal seandainya ia memohon kutukan kepada Allah bagi mereka, pastilah akan diluluskannya! Dan di antara orang-orang itu ialah Barra’ bin Malik!
Wahai Barra’ bersumpahlah kamu kepada Tuhanmu, agar la mengalahkan musuh dan menolong kita…!”
Maka Barra’ mengangkat kedua tangannya ke arah langit dengan berendah diri lalu berdo’a: “Ya Allah, kalahkan mereka…. dan tolonglah kami atas mereka …,dan pertemukanlah daku hari ini dengan Nabi-Mu!”
Dilayangkannya pandangannya yang lama kepada saudaranya Anas yang berperang berdampingan dengannya, seakan-akan hendak mengucapkan selamat tinggal. Dan menyerbulah Kaum Muslimin dengan keberanian yang tak takut mati, suatu keberanian yang tak dikenal dunia kecuali dari mereka. Dan mereka pun memperoleh kemenangan. Suatu kemenangan yang nyata!
Di tengah-tengah para syuhada yang jadi kurban pertempuran, terdapatlah Barra’ dengan wajahnya menampilkan senyuman, senyum manis saperti cahaya fajar. Tangan kanannya sedang menggenggam segumpal tanah berlumuran darah, yaitu darahnya yang suci. Dan pedangnya masih tergeletak di sampingnya. Kuat tak terpatahkan.