Kamis, Juni 12, 2025
No menu items!

Menjenguk dan Mendoakan: Antara Kepedulian Sosial dan Spiritualitas Islam

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Di lorong rumah sakit yang lengang, suara doa lirih terdengar dari balik tirai pembatas. Seorang pria berpeci duduk di samping tempat tidur seorang pasien lansia, tangannya terangkat, bibirnya merapal doa. Tak ada denting ponsel, tak ada obrolan basa-basi. Hanya kesunyian yang penuh pengharapan.

Menjenguk orang sakit dalam tradisi Islam bukan sekadar ritual sosial. Ia adalah perintah moral dan bentuk kasih sayang yang direkomendasikan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Namun, dalam dunia yang bergerak cepat dan relasi yang makin cair, pertanyaan lama kembali mencuat: seberapa sering kita harus menjenguk orang sakit? Dan adakah batas waktunya?

Syaikh Yusuf al-Qardhawi, ulama kontemporer asal Mesir, dalam “Fatwa-Fatwa Kontemporer” menjelaskan bahwa Islam tidak memberikan ukuran baku mengenai frekuensi menjenguk. “Semuanya bergantung pada konteks: hubungan dengan si sakit, kondisi fisik penjenguk, dan adat masyarakat,” tulisnya. Ada yang cukup seminggu sekali seperti saran Imam Nawawi, ada pula yang membolehkan setiap hari — asalkan tak memberatkan si sakit.

Namun, yang lebih esensial dari sekadar frekuensi adalah adab menjenguk. Al-Hafizh menyebutkan sepuluh etika utama: mulai dari tidak mengetuk terlalu keras, tidak masuk tanpa izin, hingga tidak memandangi si sakit secara berlebihan. Etika ini tidak hanya menunjukkan sopan santun, tetapi juga menegaskan bahwa tujuan utama kunjungan adalah memberikan dukungan, bukan menambah beban mental.

Pada 1980-an, Syaikh Al-Qardhawi pernah dirawat di Jerman. Dalam kisahnya, ia mengaku bahwa satu panggilan telepon dari sahabatnya di Qatar cukup untuk membuat jiwanya tenteram. “Pesan dan doa yang tulus bisa menggantikan kehadiran fisik,” katanya.

Di era digital, menjenguk pun mengalami perluasan makna. Sapaan lewat pesan singkat, telepon, atau panggilan video bisa menjadi bentuk empati yang sahih — apalagi jika jarak menjadi penghalang. Dalam Islam, niat dan perhatian tetap menjadi inti dari semua ibadah sosial.

Tak berhenti sampai di situ. Dalam tradisi Islam, menjenguk orang sakit dibarengi dengan ruqyah dan doa-doa ma’tsūr dari Nabi. Hadis-hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Ibnu Abbas menunjukkan bagaimana Nabi Muhammad SAW secara aktif mendoakan para sahabat yang sakit. Salah satunya doa untuk Sa‘ad bin Abi Waqqash: “Ya Allah, sembuhkanlah Sa‘ad dan sempurnakanlah hijrahnya.”

Sebagian orang sempat mempertanyakan: mengapa harus didoakan sembuh, jika sakit sendiri bisa menjadi penghapus dosa? Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menjawabnya gamblang: “Doa adalah ibadah. Tidak ada kontradiksi antara meminta kesembuhan dan meraih pahala karena bersabar atas sakit.”

Dalam salah satu hadis, Rasulullah bahkan memerintahkan untuk memperbanyak doa keselamatan: “Mintalah ampunan dan keselamatan kepada Allah, sebab tidaklah seseorang diberi sesuatu setelah keyakinan, yang lebih baik daripada keselamatan.”

Kesembuhan seorang Muslim, menurut hadis lainnya, bukan hanya bermanfaat untuk dirinya — agar kembali salat dan beribadah — tetapi juga untuk umat. “Agar ia mampu membunuh musuh Allah,” demikian bunyi doa yang diajarkan Nabi, yang dalam tafsirnya bisa berarti berjuang melawan musuh nyata atau setan yang menyesatkan.

Bagi umat Islam, menjenguk adalah amal sosial sekaligus ekspresi teologis. Ia menggabungkan cinta kasih dengan harapan transenden. Menengok orang sakit bukan hanya hadir secara fisik, tapi membawa serta harapan dan doa. Tidak ada yang lebih menguatkan selain ucapan lembut: “Aku memohon kepada Allah yang Maha Agung, semoga Dia menyembuhkanmu.”

Kisah Hikmah: Pelajaran dari Tiga Malam Abu Hurairah Bersama Setan

JAKARTAMU.COM | Pada suatu malam bulan Ramadan, Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu mendapat tugas mulia dari Rasulullah ﷺ: menjaga harta...
spot_img
spot_img

More Articles Like This