Kamis, Juni 12, 2025
No menu items!

Jilbab, Tafsir, dan Tubuh Perempuan: Tafsir Tak Pernah Selesai

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Madinah abad ke-7. Suasana pasar ramai oleh suara barter dan debu-debu yang mengepul dari kaki unta. Di antara kerumunan, perempuan-perempuan Muslimah melintas dengan pakaian longgar yang menyerupai kerudung, tapi ujungnya menjuntai ke belakang. Leher, telinga, hingga dada terlihat jelas. Tidak ada bedanya mereka dari budak perempuan atau pelacur kota.

Maka bisik-bisik pun muncul. Orang-orang munafik mencemooh: “Kami kira mereka hamba sahaya.”

Dalam situasi sosial yang nyaris tanpa perlindungan itulah wahyu turun, membawa sebuah perintah yang tampak sederhana: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin: hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka…” (QS Al-Ahzab: 59).

Namun, sebagaimana dicatat oleh Prof Dr Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an, perintah itu tak sesederhana kelihatannya. Ia adalah awal dari tafsir yang panjang, melebar, dan tak jarang menajam—terutama ketika menyentuh wilayah tubuh dan identitas perempuan.

Busana dan Identitas

Dalam tafsir klasik, ayat tersebut dibaca dalam kerangka proteksi: untuk membedakan perempuan merdeka dari budak, untuk melindungi dari gangguan laki-laki, untuk meredam fitnah. Pakaian menjadi semacam kode sosial, dan dalam banyak hal, alat kontrol terhadap tubuh perempuan.

Namun, tafsir tidak pernah berhenti di satu titik. Ayat lain, QS An-Nur: 31, memperkenalkan istilah illa ma zhahara minha—“kecuali yang biasa tampak darinya”—yang menjadi medan perdebatan baru. Tafsir pertama menyebut bahwa semua perhiasan harus ditutup, kecuali yang tampak tanpa sengaja. Ini adalah pandangan ketat yang sering dipegang oleh kalangan tekstualis.

Pendapat kedua, yang lebih populer di kalangan jumhur ulama, membolehkan tampaknya wajah dan telapak tangan. Hadis-hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan Ath-Thabari mendukung posisi ini. Tafsir ini lebih moderat, namun tetap konservatif dalam pengaturan tubuh perempuan.

Pandangan ketiga lebih progresif. Disampaikan oleh mufassir seperti Ibnu Athiyah dan Al-Qurthubi, ia menekankan bahwa batas aurat dapat menyesuaikan dengan kebutuhan dan kebiasaan sosial. “Urf”—kebiasaan masyarakat—menjadi instrumen penting dalam memahami syariat.

Dalam kerangka ini, syariat adalah sistem yang hidup, yang bergerak bersama perubahan zaman. Maka pertanyaannya bukan lagi “apa yang harus ditutup?”, melainkan “dalam konteks sosial apa tafsir ini dijalankan?”

Tafsir yang Bergerak

Pendekatan fleksibel ini diamini oleh tokoh seperti Imam Abu Hanifah. Dalam pandangannya, kaki perempuan bukan aurat. Ini karena faktor masyaqqah, atau kesulitan praktis, terutama bagi perempuan kelas bawah yang bekerja di luar rumah. Ulama Al-Azhar seperti Muhammad Ali As-Sais menyatakan, syariat memang datang dengan prinsip yuridu bikum al-yusra—kemudahan.

Tetapi di tengah modernitas, tafsir pun dipaksa berebut ruang dengan realitas sosial yang semakin kompleks. Globalisasi, arus media, kampus, pergaulan urban, hingga kebijakan negara menjadikan busana perempuan sebagai titik pertemuan antara tafsir, budaya, dan politik identitas.

Dulu, jilbab adalah penanda status dan perlindungan. Kini ia bisa menjadi simbol perlawanan, ekspresi religiusitas, bahkan alat kontrol negara. Di Iran, perempuan bisa dipenjara karena tidak mengenakan hijab. Di Prancis, mereka dilarang mengenakannya di sekolah. Tafsir bergeser dari urusan fiqih ke ranah ideologi.

Quraish Shihab membaca semua ini dalam kerangka yang tenang dan kontekstual. Baginya, ayat tentang busana perempuan bukan sekadar instruksi tekstual, tapi isyarat kultural. “Al-Qur’an diturunkan untuk dibaca dengan nalar dan kebijaksanaan,” tulisnya.

Maka, membaca ayat-ayat tentang jilbab bukan berarti menutup kitab tafsir abad ke-12, melainkan membuka lembar baru tafsir yang hidup—yang mengenali konteks sosial sebagai bagian dari wahyu itu sendiri.

Tafsir, Tubuh, dan Masa Depan

Hari ini, perempuan Muslim hidup dalam tarik-menarik antara norma dan realitas. Di satu sisi, ada harapan agar syariat tetap tegak. Di sisi lain, ada tuntutan agar tafsir berkembang seiring zamannya. Maka pertanyaan mendasarnya bukan “jilbab seperti apa yang diwajibkan?”, tetapi “bagaimana Islam membimbing perempuan di tengah dunia yang terus berubah?”

Jawaban atas itu tak akan pernah tunggal. Tapi satu hal yang pasti: seperti cahaya yang menimpa permukaan air, wahyu akan terus memantul dalam bentuk-bentuk yang berbeda, sesuai dengan gelombang zaman.

Kisah Hikmah: Pelajaran dari Tiga Malam Abu Hurairah Bersama Setan

JAKARTAMU.COM | Pada suatu malam bulan Ramadan, Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu mendapat tugas mulia dari Rasulullah ﷺ: menjaga harta...
spot_img
spot_img

More Articles Like This