Senin, Februari 10, 2025
No menu items!

Pantaskah Perokok Menjadi Mustahik Zakat?

Must Read

PEMERINTAH telah resmi menaikkan harga jual eceran rokok per 1 Januari 2025. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/2024, harga berbagai jenis rokok akan meningkat antara 5-18 persen per batang. Ini bukan kali pertama harga rokok naik dan tren ini diprediksi bakal terus berlanjut.

Tren kenaikan harga inilah yang membuat rokok semakin sulit disebut sebagai barang murah. Jika saat ini harga rokok termurah berkisar antara Rp15 ribu hingga Rp20 ribu per bungkus dengan isi 12 batang, maka tahun depan angkanya tentu akan lebih tinggi. Konsekuensinya, rokok akan semakin membebani keuangan rumah tangga, khususnya bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah.

Namun, di tengah naiknya harga rokok, muncul kembali perdebatan klasik: pantaskah seorang perokok mengklaim dirinya sebagai dhuafa atau penerima zakat? Isu ini mengemuka karena kebiasaan merokok dinilai bertentangan dengan konsep pengelolaan prioritas kebutuhan, terutama di kalangan masyarakat ekonomi rentan.

Baca juga: Abdul Mu’ti Usung Tafsir Transformatif, Contohkan Aplikasinya pada Zakat

Merokok dan Kemampuan Ekonomi

Sepuluh tahun lalu, Basuki Tjahaja Purnama, yang kala itu menjabat Gubernur DKI Jakarta, sempat menyatakan bahwa seorang perokok seharusnya tidak dikategorikan sebagai warga miskin.

Ahok, sapaan tokoh asal Belitung itu, menetapkan kebijakan bahwa penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) harus berasal dari keluarga yang tidak merokok. Alasannya sederhana, jika orang tua mampu membeli rokok secara rutin, mereka semestinya bisa membiayai kebutuhan dasar, termasuk pendidikan anak.

Pernyataan Ahok tersebut kembali relevan saat ini. Dengan asumsi harga rokok termurah Rp20 ribu per bungkus yang ludes dalam sehari, seorang perokok menghabiskan sekitar Rp600 ribu per bulan.

Angka ini setara dengan dua paket bantuan sembako pemerintah. Jika pengeluaran sebesar itu dialihkan, maka kebutuhan pokok keluarga dapat lebih terjamin.Di sinilah muncul persoalan etika dan prioritas, bagaimana mungkin seorang perokok yang mengaku miskin masih punya anggaran khusus untuk rokok?

Fakir miskin, dalam Surat At-Taubah ayat 60 adalah kelompok yang berhak menerima zakat. Fakir adalah mereka yang tidak memiliki harta atau pekerjaan halal, sehingga tak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Sementara orang miskin adalah mereka yang memiliki penghasilan, tetapi jumlahnya belum cukup untuk mencukupi kebutuhan pokok.

Secara logis, jika seorang miskin masih dapat menyisihkan uang untuk membeli rokok, maka pola pengelolaan keuangan menjadi sorotan. Uang yang digunakan untuk merokok, bahkan jika hanya Rp300 ribu sebulan, bisa dialokasikan untuk kebutuhan lebih mendesak seperti pangan, pendidikan, atau kesehatan.

Baca juga: Penjelasan Sederhana Seputar Perbedaan Zakat, Infak, dan Sedekah

Mendorong Kesadaran Kolektif

Dalam praktik penyaluran zakat, kesadaran akan tanggung jawab pribadi memegang peran penting. Zakat tidak hanya bertujuan meringankan beban ekonomi, tetapi juga mendorong individu untuk mengelola keuangannya secara bijak. Di sinilah penyalur zakat memiliki hak untuk menetapkan kriteria tambahan agar dana zakat lebih tepat sasaran.

Menetapkan syarat tidak merokok sebagai kriteria penerima zakat dapat menjadi salah satu solusi. Ini bukan diskriminasi terhaap perokok, melainkan mendorong kesadaran bahwa merokok bukanlah kebutuhan prioritas, apalagi di tengah kondisi ekonomi sulit.

Jika seorang dhuafa mampu meninggalkan kebiasaan merokok, maka dana yang sebelumnya dihabiskan untuk rokok dapat dialihkan untuk pemenuhan kebutuhan dasar yang lebih bermanfaat. Bukan tidak mungkin, kebijakan seperti ini akan memantik kesadaran kolektif di kalangan masyarakat miskin untuk mengevaluasi kebiasaan konsumsi mereka.

Terlepas dari pemerintah menaikkan harga rokok untuk alasan ekonomi atau sosial-kesehatan, diperlukan pendekatan holistik yang mencakup edukasi tentang bahaya rokok, pengelolaan keuangan keluarga, serta akses terhadap bantuan yang berkelanjutan. Pemerintah, lembaga zakat, dan masyarakat perlu bergandengan tangan untuk menciptakan solusi yang adil dan berkeadilan.

Bagaimana pun, merokok adalah pilihan pribadi. Tetapi di saat yang sama pilihan tersebut memiliki dampak ekonomi yang signifikan secara individu maupun keluarga. Kenaikan harga rokok mestinya menjadi momentum bagi para perokok, khususnya dari golongan ekonomi lemah, untuk berhenti merokok. Selain berdampak positif bagi kesehatan, kebiasaan ini juga akan memperbaiki kondisi finansial mereka. (*)

PUISI: Pulang

42 tahun di Jakarta bukan kepulanganku ke sana 42 tahun di Jakarta menyelesaikan tugas keduniaan di bawah titah keakhiratan 1982-2024 jalanan...

More Articles Like This