JAKARTAMU.COM | Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan angka kematian yang semakin mengerikan. Sebanyak 54.084 jiwa telah menjadi korban pembantaian yang dilakukan militer Israel. Lebih dari 123.308 orang luka-luka dan ribuan lainnya hilang atau dipenjara dalam kondisi yang tak manusiawi.
Rumah sakit, sekolah, dan fasilitas sipil, hancur lebur oleh serangan brutal militer Israel. Sebuah operasi berdalih keamanan yang punya tujuan terselubung: genosida Palestina. Bayi baru lahir pun tak luput dari sasaran, bukti nyata bahwa kebrutalan ini telah kehilangan seluruh rasa kemanusiaan.
Usulan gencatan senjata yang kini mengemuka menjadi satu-satunya harapan untuk menghentikan pertumpahan darah yang tanpa ampun ini. Sayang sekali harapan itu pun terasa seperti fatamorgana di tengah kebrutalan yang sudah berlangsung berbulan-bulan. Gaza yang dulu penuh kehidupan kini berubah menjadi lautan reruntuhan dan penderitaan, korban dari ambisi kekuasaan yang tak kenal belas kasihan.
Presiden Israel Benjamin Netanyahu bahkan dengan pongah menyatakan akan menguasai seluruh Gaza, tanpa peduli berapa banyak nyawa yang harus direnggut. Pernyataan itu bukan hanya menunjukkan keangkuhan, tetapi juga sikap negara yang telah berubah menjadi paria di mata dunia, negara yang menganggap pembunuhan massal warga sipil sebagai strategi perang.

Kritik keras datang dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan Yahudi sendiri yang mengutuk kebiadaban rezim Netanyahu. Namun, dukungan dari kekuatan besar seperti Amerika Serikat justru memperpanjang penderitaan rakyat Palestina, menjadikan konflik ini sebagai panggung pertunjukan kekejaman yang dilindungi oleh kepentingan geopolitik.
Blokade yang diterapkan Israel telah mengurung hampir 2,1 juta warga Gaza dalam kondisi kelaparan akut dan krisis kemanusiaan yang parah. Bantuan kemanusiaan yang masuk hanya setetes air di lautan, sementara ribuan korban terkubur di bawah reruntuhan akibat serangan yang tak kenal ampun.
Ini merupakan tragedi kemanusiaan terbesar di abad ini yang masih bakal terus berlanjut. Tetapi lucunya tragedi ini bak tontonan belaka bagi dunia. Masyarakat internasional yang seharusnya menjadi pelindung kemanusiaan, terjebak dalam sikap diam dan kompromi yang memperpanjang penderitaan warga Palestina. Gencatan senjata bukan hanya menjadi peluang untuk mengakhiri pembantaian, tetapi juga panggilan moral bagi komunitas global agar tidak lagi membiarkan kekejaman ini berlangsung tanpa konsekuensi.
Sumber : Al-Mayadeen