ISLAM adalah agama yang sangat menjunjung tinggi kebersihan. Sebelum salat, tawaf, atau ibadah lain, seorang muslim wajib bersuci. Kebersihan adalah bagian dari iman. Tak heran jika dalam kitab-kitab fikih, para ulama menuliskan bab khusus tentang taharah alias bersuci. Kebersihan jasmani, seperti pakaian, makanan, dan lingkungan, hingga kebersihan rohani, semuanya menjadi syarat untuk hidup sehat lahir batin.
Hal ini pula yang ditegaskan Ita Kurniawati, Manajer Bisnis dan Kerja Sama Istiqlal Halal Center, dalam pelatihan Petugas Pendamping Halal di Ruang Voice of America, Perpustakaan Masjid Istiqlal Jakarta, Minggu (22/6/2025).
“Makanan halal dan sehat itu syaratnya dapurnya bersih, dan yang masak juga bersih,” ujarnya, sambil menyelipkan canda khas kepada peserta, khususnya kaum ibu.
“Ibu-ibu, kalau masak di rumah, daster dari pasar itu diganti dulu ya! Pakai daster baru atau baju bersih lainnya. Kita nggak tahu, di daster itu bisa saja menempel bakteri, virus, atau penyakit lain yang bisa mencemari masakan,” ucap Ita.
Daster bukan satu-satunya yang mengancam kualitas makanan. Ita mencontohkan apa yang diyakini masyarakat sebagai sunah pun, berpotensi mengontaminasi makanan. Apa itu? Jenggot.
Dia pun berkisah tentang pengalamannya saat melakukan visitasi ke sebuah restoran Lebanon yang mengajukan sertifikasi halal. Chef-nya adalah warga naturalisasi asal Suriah. Secara standar operasional prosedur (SOP) di Indonesia, juru masak harus mengenakan perlengkapan lengkap seperti celemek, penutup kepala (apron), dan masker.
“Masker ini penting,” kata Ita, “karena bisa mencegah droplet air liur masuk ke makanan. Dan kalau juru masaknya berjanggut, masker juga bisa mencegah janggut rontok ke makanan.”
Masalah pun muncul ketika para juru masak di restoran itu menolak mengenakan masker. Alasannya?
“Janggut ini sunnah, Bu! Ini lambang kejantanan laki-laki sejati,” ujar Ita menurukan ucapan laki-laki tersebut.
Untungnya, mereka akhirnya bisa memahami setelah mendapatkan penjelasan. Para Para chef bersedia menjalankan SOP demi kualitas dan keamanan makanan. “Alhamdulillah, pada akhirnya semua bisa menerima. Sunnah tetap dijaga, tapi kualitas makanan juga tidak dikorbankan,” tutur Ita.
Sebagai catatan, SOP internasional industri makanan memang sangat ketat. Karyawan yang bersentuhan langsung dengan makanan wajib memakai penutup kepala, jaring rambut, topi, bahkan penutup janggut. Tentu ini bukan bermaksud menistakan sunnah, hanya menjamin tidak ada sehelai rambut pun yang nyasar ke piring pelanggan.
Aturan ini tidak berlaku bagi karyawan yang hanya bertugas di kasir atau menyajikan makanan kemasan. Jadi, jangan khawatir, jenggot Anda tetap bisa tampil bebas selama tidak berdiri di depan penggorengan. (*)