JAKARTAMU.COM | Di ruang-ruang kuliah, majelis taklim, hingga layar-layar digital yang dipenuhi debat, satu isu terus mengambang dalam diskursus umat Islam: bagaimana sesungguhnya batas aurat perempuan menurut Al-Qur’an? Jawabannya, ternyata, tak sesederhana redaksi ayat ataupun literalitas hadis.
Dalam buku Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan, 1996), ulama tafsir terkemuka, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, menyodorkan sebuah perspektif yang luwes, hati-hati, dan bagi sebagian kalangan menyegarkan.
Dengan gaya khasnya yang tenang namun tajam, Quraish menyebut bahwa pendapat ulama terdahulu tentang kewajiban jilbab memang kuat, tetapi ruang diskusi dan tafsir tetap terbuka, terutama dalam konteks modern yang terus berubah.
“Namun amanah ilmiah,” tulisnya, “mengundang penulis untuk mengemukakan pendapat yang berbeda.” Pendapat ini tidak serta-merta membatalkan kewajiban, tapi menimbang bahwa norma berpakaian dalam Islam tak dapat dilepaskan dari konteks budaya, adat, dan tujuan syariah itu sendiri.
Sebagai contoh, ia mengutip pemikiran Muhammad Thahir bin Asyur, ulama besar dari Tunisia, dalam kitab Maqashid al-Syari’ah.
Dalam pandangan Bin Asyur, perintah berjilbab dalam surat Al-Ahzab ayat 59 adalah bentuk pertimbangan terhadap adat masyarakat Arab saat itu. “Bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab,” tulis Bin Asyur seperti dikutip Quraish, “tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) dari ketentuan ini.”
Tentu saja, penafsiran ini tidak serta-merta menghapus nilai normatif ayat. Tapi tafsir ini menggeser penekanan dari bentuk fisik pakaian ke tujuan moral dan sosialnya: agar perempuan dikenal sebagai orang baik dan tidak diganggu.
Pertanyaan klasik pun muncul: bagaimana dengan redaksi perintah dalam ayat dan hadis?
Quraish menjawab dengan mengajak pembaca untuk tidak terpaku pada lafaz semata. Ia mengingatkan bahwa tidak semua redaksi perintah dalam Al-Qur’an bermakna wajib. Ia mengambil contoh ayat tentang pencatatan utang dalam QS Al-Baqarah [2]: 282, sebuah perintah yang tidak dipahami secara mutlak wajib oleh para ulama fikih.
Begitu pula hadis-hadis Nabi soal busana. Banyak redaksi yang menggunakan bentuk perintah, namun dalam praktiknya dipahami sebagai anjuran terbaik, bukan tuntutan mutlak. Tafsir semacam ini membuka ruang toleransi terhadap realitas sosial umat Islam, khususnya perempuan Muslim yang tak seluruhnya mengikuti model berpakaian klasik.
Namun, Quraish tetap menekankan kewajiban moral dan spiritual dalam berpakaian. Pakaian, menurutnya, tak boleh menyiksa lahir maupun batin si pemakainya. Syariat berpakaian adalah bagian dari kasih sayang Tuhan, bukan beban yang melumpuhkan jiwa.
“Pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” tulisnya merujuk QS Al-Ahzab: 59 dan QS An-Nur: 31, “semoga mengandung arti bahwa Allah mengampuni kesalahan mereka yang lalu dalam hal berpakaian.”
Pernyataan itu sekaligus menjadi penegasan: bahwa Islam tidak memproklamirkan kehancuran moral hanya karena perbedaan gaya berkerudung. Yang dikedepankan adalah usaha terus-menerus untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai kebaikan, bukan penghakiman membabi buta.
Sebagaimana ia tutup tulisannya dengan kalimat khusyuk: Wa Allahu A’lam.