JAKARTAMU.COM | Di sebuah negeri yang jauh sebelum dunia mengenal bank dan notaris, hiduplah dua pria saleh. Suatu hari, salah satunya menjual sebidang tanah kepada yang lain. Tidak lama setelahnya, sang pembeli menggali tanah itu dan menemukan sebuah guci tua yang ternyata berisi emas.
Terkejut dan takut akan mengambil yang bukan haknya, ia kembali kepada penjualnya dan berkata, “Ambillah emasmu. Aku hanya membeli tanah, bukan isinya.”
Namun sang penjual pun tidak kalah jujurnya. Ia menolak, “Yang kujual adalah tanah beserta seluruh isinya. Maka emas itu hakmu.”
Maka terjadilah sesuatu yang langka dalam sejarah umat manusia: dua orang yang sama-sama enggan mengambil emas karena takut merebut hak yang bukan miliknya.
Tak mampu memutuskan sendiri, keduanya mendatangi seorang bijak yang dikenal memahami syariat. Kepadanya, mereka meminta putusan. Sang bijak tak segera bicara hukum. Ia bertanya, “Apakah kalian memiliki anak?”
“Aku memiliki seorang anak laki-laki,” kata yang satu.
“Dan aku seorang anak perempuan,” sahut yang lain.
“Nikahkan keduanya,” ujar sang hakim,
“Gunakan emas itu untuk kehidupan mereka, dan sisanya, bersedekahlah untuk diri kalian sendiri.”
Kisah ini bukan sekadar cerita soal emas yang tertanam di tanah. Ia adalah potret hidup tentang amanah, kejujuran, dan iman yang mendalam.
Pertama, kisah ini mengajarkan bahwa menunaikan amanah adalah perintah Allah. Baik si penjual maupun si pembeli tidak ingin memakan harta yang haram, meski tidak ada manusia yang menyaksikan. Namun Allah melihat. Dan mereka takut kepada-Nya.
Kedua, ketika menghadapi sengketa, mereka tidak lari ke jalur duniawi, tapi mengembalikan perkara kepada yang memahami al-Qur’an dan Sunnah. Ini adalah pelajaran bagi kita yang sering kali lebih dahulu mendatangi pengadilan daripada mendatangi ilmu.
Ketiga, kisah ini memperlihatkan bahwa kekayaan sejati bukanlah emas, tapi ridha terhadap takdir Allah. Dua orang ini telah cukup dengan pembagian Allah, dan karena itu mereka pun menjadi orang yang paling kaya dalam jiwanya.
Keempat, ia mengajarkan bahwa rizki itu tidak akan salah alamat. Seandainya emas itu bukan untuk mereka, maka ia takkan muncul dari tanah. Tapi karena Allah telah menuliskannya sebagai rezeki, maka ia pun hadir tanpa diminta.
Kelima, kisah ini mendidik kita untuk mencari harta dari jalan yang halal, dan menolak segala bentuk kelicikan. Mereka bisa saja berdebat, berselisih, bahkan menggugat, namun iman telah mengikat mereka lebih kuat dari emas.
Keenam, dari keputusan sang hakim, kita belajar bahwa hukum yang adil mampu menyatukan dua hati, bahkan menjodohkan dua keluarga. Emas tak hanya menyuburkan tanah, tapi juga menyuburkan hubungan yang halal dan berkah.
Ketujuh, kita diajarkan untuk tidak mengangan-angan sesuatu yang bukan hak kita. Sebab mengangan-angan itu adalah awal dari ketamakan.
Inilah kisah yang bukan hanya layak dibaca, tapi juga ditanamkan dalam hati. Di dunia yang hari ini penuh dengan orang berebut harta dan saling menipu, kisah dua orang yang berlomba-lomba melepaskan emas adalah oase kejujuran yang patut diteladani.