JAKARTAMU.COM | Sehari sebelum bom-bom Israel menggelegar di langit Teheran, satu jenis amunisi tak bersuara telah lebih dulu menembus jalur logistik militer: rudal Hellfire buatan Amerika Serikat. Sekitar 300 unit rudal presisi tinggi itu dikirim secara diam-diam ke Tel Aviv pada Selasa, 10 Juni 2025. Itu adalah tiga hari sebelum serangan udara besar-besaran ke sejumlah fasilitas militer dan ilmiah Iran.
Pengiriman ini tak diumumkan kepada publik. Dua pejabat tinggi pertahanan AS mengonfirmasi kepada Middle East Eye bahwa pengiriman tersebut dilakukan sebagai bagian dari pengisian ulang persediaan militer Israel sebelum peluncuran operasi, yang oleh media Israel disebut sebagai “Hari Pembalasan.”
Rudal Hellfire bukan sembarang peluru kendali. Senjata ini dirancang untuk membunuh secara tepat, dalam skala kecil, bukan merusak infrastruktur besar seperti fasilitas nuklir. Namun, dalam serangan Jumat dini hari itu, senjata ini digunakan untuk menargetkan tokoh-tokoh penting militer Iran dengan tingkat presisi tinggi yang mengindikasikan bahwa target telah dipantau sejak lama.
“Rudal-rudal itu ada waktunya dan tempatnya,” kata seorang pejabat senior pertahanan AS, “dan bagi Israel, waktunya adalah sekarang.”
Israel mengerahkan lebih dari 100 pesawat dalam operasi tersebut. Mereka memburu tokoh-tokoh penting Iran: Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran, Mayor Jenderal Mohammad Bagheri; mantan Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Iran, Ali Shamkhani; hingga Kepala Garda Revolusi (IRGC), Mayor Jenderal Hossein Salami. Ketiganya tewas dalam serangan presisi di lokasi berbeda.
Kenyataan bahwa rudal-rudal itu dikirim hanya beberapa hari sebelum serangan memunculkan satu kesimpulan yang tak bisa dihindari: Washington tahu, dan mungkin diam-diam merestui.
Sumber yang sama mengatakan kepada Middle East Eye bahwa pemerintahan Trump telah mengetahui rencana Israel sejak April. CIA, menurut laporan itu, telah mendapatkan paparan rinci tentang strategi Israel: gabungan serangan siber dan udara yang dilakukan secara mandiri tanpa keterlibatan langsung AS.
Namun dalam pernyataan publiknya, Trump terlihat seolah berusaha menahan diri. Ia berkali-kali menyatakan bahwa AS masih membuka pintu perundingan nuklir dengan Teheran. Bahkan sejak 12 April 2025, pembicaraan telah dimulai. Tapi tampaknya itu hanya selubung.
Axios, media yang berbasis di AS, mengutip dua pejabat Israel yang menyebut bahwa Trump “berpura-pura menolak” rencana Israel. Faktanya, ia membiarkannya berjalan.
Dan yang paling menarik: Israel menyerang tepat di hari ke-61 setelah dimulainya perundingan. Sebelumnya, media Israel melaporkan bahwa Trump memberikan tenggat waktu 60 hari kepada Iran untuk menyepakati kerangka baru perjanjian nuklir. Sebuah ultimatum berselubung negosiasi.
Selama dua bulan pembicaraan yang disebut-sebut sebagai “kesempatan terakhir,” pemerintahan Trump tetap mengalirkan senjata ke Israel. Tidak ada kewajiban untuk mengumumkannya secara terbuka, karena pengiriman itu merupakan bagian dari paket senilai USD7,4 miliar yang telah disetujui Kongres sejak Februari: bom, rudal, dan segala perangkat keras untuk perang.
Washington mungkin tidak ikut menarik pelatuk, tapi jejak jarinya tertinggal di peluru.