JAKARTAMU.COM | Di antara dentang modernitas yang kian menggerus identitas, Islam telah lebih dulu mengembangkan cetak biru masyarakat ideal, bukan dari ruang seminar atau mimbar politik, melainkan dari langit, dalam bentuk hukum yang menyatu dengan nilai-nilai spiritual dan sosial.
John L. Esposito, profesor kajian Islam dan direktur Center for Muslim-Christian Understanding di Universitas Georgetown, menegaskan bahwa Syariah yang seringkali dipahami secara sempit sebagai hukum pidana keras, sesungguhnya adalah kerangka moral dan sosial yang menyeluruh.
“Syariah atau Jalan Tuhan merupakan serangkaian prinsip umum, arah, dan nilai-nilai yang diwahyukan Tuhan untuk membangun peraturan dan cara-cara yang rinci,” tulisnya dalam The Islamic Threat: Myth or Reality? yang diterbitkan di Indonesia oleh Penerbit Mizan.
Lima pilar Islam, dari syahadat hingga haji, tak hanya menjadi fondasi keimanan individual. Ia membentuk jaringan tanggung jawab kolektif: bahwa menjadi Muslim bukan sekadar meyakini Tuhan, tapi juga bertindak untuk kemaslahatan sosial. Zakat, misalnya, bukanlah sedekah sukarela, tetapi “kewajiban agama setiap Muslim kepada saudara-saudara seagamanya yang kurang beruntung,” tulis Esposito.
Namun kekayaan hukum Islam tak berhenti pada ritual. Ia mengalir sampai ke detail soal keluarga, harta, kriminalitas, hingga peperangan dan perdamaian. Hukum waris, batasan dalam poligami, larangan zina dan mabuk, semua menunjukkan keinginan Islam untuk menata masyarakat secara etis. Bahkan kontrak dan diplomasi antarnegara pun masuk dalam cakupan fikih.
Menariknya, hukum Islam tidak hadir sebagai sistem tertutup. Sejak awal, ia terbuka pada keragaman lokal dan penilaian akal. “Hukum Islam tidak kaku dan tidak tertutup, tetapi justru mewujudkan kedinamisan, fleksibilitas, dan keanekaragaman,” tulis Esposito. Di tangan para mufti, fatwa menjadi ruang interpretasi yang hidup, memberi napas pada dinamika zaman.
Namun, ruang ijtihad itu mulai mengering sejak abad ke-10, ketika sebagian besar ulama menganggap bahwa semua dasar hukum telah ditetapkan secara lengkap. Muncullah era taqlid, ketika teks menjadi rujukan tunggal, dan inovasi dicurigai sebagai bid’ah. Perbedaan antara hukum Tuhan yang abadi dan hukum manusia yang nisbi pun memudar dalam persepsi umat.
Inilah yang menjadi tantangan besar bagi umat Islam di abad ke-19 dan 20, abad modernisasi dan kolonialisme. Ketika hukum Barat masuk sebagai proyek pembangunan, hukum Islam justru tertatih mencari kembali relevansi sosial dan fleksibilitas intelektualnya.
Esposito mencatat, problem ini bukan karena Islam tertinggal, tetapi karena kecenderungan sebagian pemeluknya untuk membekukan warisan hukum yang dulu tumbuh dalam semangat pembaruan.
Kini, ketika dunia global menyaksikan kebangkitan kembali syariah dalam ruang publik, dari Aceh hingga Teheran, dari Riyadh hingga Kano, pertanyaannya bukan hanya soal penerapan, melainkan juga soal penafsiran. Akankah umat Islam menghidupkan kembali semangat ijtihad, atau kembali mengekalkan taqlid sebagai jalan satu-satunya?
Pertanyaan itu bukan hanya soal hukum, tapi soal masa depan peradaban.