JAKARTAMU.COM | Dalam catatan sejarah kekuatan-kekuatan besar dunia, jarang ada peradaban yang menyebar secepat dan seintens Islam. Dalam tempo kurang dari satu abad setelah wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 632 M, panji Islam telah berkibar dari Andalusia di barat hingga anak benua India di timur. Di antara ketakjuban dunia, pertanyaan klasik terus mengemuka: apakah ekspansi itu buah dari misi spiritual atau ambisi politik?
John L. Esposito, dalam bukunya The Islamic Threat: Myth or Reality? (Mizan, 1992), membedah akar ganda gerak ekspansi Islam. Ia menyebutnya sebagai “ancaman ganda” bagi Kristen awal: secara politik karena kekuatan militer kaum Muslim terus meluas, dan secara keagamaan karena Islam membawa misi keimanan baru yang menantang teologi lama.
Sumber energi utama dari ekspansi itu, tulis Esposito, adalah konsep jihad, sebuah istilah yang kini kerap disempitkan maknanya hanya sebagai “perang suci”. Padahal dalam akar Arab-nya, jihad berasal dari jahada, yang berarti “berjuang” atau “berupaya keras”. Maka jihad tidak melulu soal pedang, tapi juga hati, lidah, dan tangan.
Dalam satu rujukan klasik, Esposito mengutip pendapat faqih atau ahli hukum Islam, bahwa jihad mencakup “tugas yang dapat dilaksanakan dengan hati, dengan lidah, dengan tangan, dan dengan pedang.” Rujukan ini berasal dari karya Patrick J. Bannerman, Islam in Perspective (Routledge, 1988).
Dengan pengertian itu, jihad menjadi sarana mobilisasi sosial. Ia bukan semata panggilan perang, tapi instrumen perubahan. Ia menginspirasi disiplin moral pribadi, keterlibatan sosial, hingga perlawanan militer dalam membela komunitas Muslim dari serangan luar.
Namun sejarah mencatat, jalan jihad yang ditempuh umat Islam seringkali melewati medan perang. Ini, bagi Esposito, bukanlah penyimpangan, melainkan refleksi dari konteks zamannya. Dalam dunia abad ketujuh, agama dan politik adalah satu entitas yang nyaris tak terpisahkan. Nabi Muhammad bukan hanya pembawa wahyu, tapi juga kepala negara dan panglima militer. Model ini kemudian diikuti oleh kekhalifahan setelahnya.
“Kalau teladan Rasulullah menawarkan paradigma dan dasar bagi bersatunya agama dengan negara,” tulis Esposito, “gerakan Muhammad memberikan model bagi semua gerakan Islam yang bertujuan memperbaiki masyarakat dan dunia.”
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menekankan posisi “di jalan Allah” (fi sabilillah) menjadi motor teologis. Salah satunya dalam QS 4:76: “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang kafir berperang di jalan setan.” Inilah panggilan yang dijadikan fondasi bagi komunitas Muslim untuk bertindak — bukan hanya melawan musuh secara fisik, tapi juga membela nilai dan tatanan ilahiah.
Namun, dalam penelusuran Esposito, jihad tidak identik dengan agresi. Penyebaran Islam juga berjalan lewat diplomasi, perdagangan, dan dakwah. Yang kemudian menjadi ancaman bagi dunia Kristen, barangkali bukan pedang Muslim, tapi kecepatan Islam meresap ke berbagai masyarakat — menawarkan alternatif spiritual yang kuat dan tatanan sosial yang relatif adil pada masanya.
Dalam terminologi Islam, mereka yang gugur dalam jihad disebut syahid, satu akar kata dengan syahadah, ikrar keimanan. Esposito mencatat adanya paralel dengan martir dalam tradisi Kristen awal: yang mati dalam mempertahankan keyakinan akan diberi imbalan surga.
Pertanyaannya kini, apakah jihad hari ini masih dapat dimaknai sebagai perjuangan spiritual dan sosial seperti semula, atau telah menjelma menjadi instrumen politisasi dan kekerasan atas nama agama?
Sejarah memang tak pernah menawarkan jawaban tunggal. Namun, seperti disiratkan Esposito, memahami jihad secara historis dan holistik adalah langkah awal untuk membedakan antara keyakinan dan klaim, antara spiritualitas dan senjata. (*)