Minggu, Juni 1, 2025
No menu items!
spot_img

Harga yang Harus Dibayar dari Pendidikan Gratis

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Jakarta, akhir Mei. Gedung Mahkamah Konstitusi tampak tenang dari luar. Namun, di dalamnya, pekik diam keadilan bergema lebih lantang dari biasanya. Tanggal 27 Mei 2025 akan tercatat sebagai titik balik dalam sejarah pendidikan dasar Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XXII/2024 menyatakan, wajib belajar sembilan tahun harus tanpa biaya. Tak hanya di sekolah negeri, tetapi juga di sekolah swasta.

Putusan itu bukan tanpa riak. Dalam amar yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo, negara diwajibkan menjamin pendidikan dasar tanpa pungutan di semua satuan pendidikan. Tak boleh ada lagi perbedaan perlakuan antara anak-anak yang bersekolah di negeri dan mereka yang terpaksa masuk swasta karena daya tampung negeri terbatas. Konstitusi, dalam tafsir Mahkamah, berdiri tegak untuk semua.

Putusan itu disambut baik oleh banyak kalangan, salah satunya Hetifah Sjaifudian, Wakil Ketua Komisi X DPR RI. Ia menyebut putusan MK sebagai “langkah strategis memperkuat SDM bangsa”. Namun, seperti hukum Newton, setiap langkah maju memunculkan hambatan yang sebanding. Hetifah menggarisbawahi setidaknya tiga tantangan krusial: pembiayaan sekolah swasta, kapasitas fiskal pemerintah, dan kualitas serta kemandirian lembaga pendidikan non-negeri.

“Kalau selama ini sekolah swasta hanya diberi BOS dengan nominal terbatas, kini harus ada skema subsidi baru. Pemerintah daerah pun perlu menyisihkan APBD-nya lebih besar. Ini tak bisa setengah-setengah,” ujarnya kepada wartawan, Jumat, 30 Mei 2025.

Harga dari Gratis

Putusan MK bukan sekadar soal legalitas. Ia adalah mandat politik, beban fiskal, sekaligus janji moral. Di lapangan, kebijakan ini berpotensi mengguncang keseimbangan ekosistem pendidikan. Data tahun ajaran 2023/2024 yang dipaparkan hakim konstitusi Enny Nurbaningsih memperlihatkan jurang itu. Hanya 970 ribu siswa yang tertampung di SD negeri, sementara 173 ribu lainnya ditampung sekolah swasta. Di jenjang SMP, proporsinya pun serupa.

Kini, seluruh siswa (negeri dan swasta) wajib dibebaskan dari biaya. Pemerintah pun pontang-panting mencari jalan. Dari optimalisasi anggaran 20 persen untuk pendidikan, pemanfaatan CSR, skema KPBU, hingga wacana realokasi dana proyek non-urgensial.

“Sekolah swasta yang berbiaya rendah harus dapat subsidi penuh,” ujar Hetifah. Tapi ia mengingatkan risiko baru: hilangnya otonomi sekolah swasta. “Kalau terlalu bergantung pada negara, inovasi bisa mati.”

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), lewat Menteri Abdul Mu’ti, mengaku masih mengkaji detail putusan MK. Tak heran jika pemerintah menyatakan kebijakan ini belum bisa langsung diterapkan di tahun 2025. “Butuh koordinasi yang presisi dan terukur,” kata Menteri Koordinator PMK Pratikno.

Langkah konkret masih sumir. Pemerintah pusat kini menyiapkan peta jalan bersama Kemendikdasmen, dengan rencana strategis yang mencakup harmonisasi regulasi, skema afirmatif untuk daerah tertinggal, dan penguatan tata kelola BOS untuk swasta.

Ujian Legislasi dan Legitimasi

Sementara itu, DPR lewat Komisi X sudah mengebut revisi UU Sisdiknas. Putusan MK dipastikan menjadi kerangka utama pembahasan. Di balik meja legislasi, ada tekad agar keputusan itu tak jadi slogan populis belaka. “Harus menjadi kebijakan negara yang bisa diukur dampaknya,” ujar Hetifah.

Tapi politik anggaran dan kompromi antar-kepentingan bukanlah ladang yang steril. Banyak kepala daerah sudah bersuara soal minimnya ruang fiskal. Dengan alokasi wajib 20 persen dari APBD, masih muncul tanya: cukupkah itu?

Wakil Mendagri Bima Arya Sugiarto mengamini bahwa eksekusi putusan ini bukan pekerjaan semalam. “Ini butuh waktu. Tapi putusan MK final dan mengikat. Tak ada opsi untuk tidak menjalankan,” tegasnya.

Di balik semua dinamika, suara akar rumput ikut menggema. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama tiga ibu rumah tangga adalah penggugat awal putusan ini. Mereka mewakili jutaan orang tua yang terbebani biaya sekolah, meski wajib belajar sembilan tahun telah lama digaungkan.

Menurut data Kemendikdasmen, saat ini masih ada 3,9 juta anak Indonesia yang tidak sekolah. Dari jumlah itu, 881 ribu putus di tengah jalan, sementara dua juta lebih belum pernah menyentuh bangku pendidikan. Jika putusan MK mampu menghapus hambatan ekonomi dan diskriminasi institusional, maka ia lebih dari sekadar regulasi. Ia adalah jembatan keadilan sosial.

Langkah Bertahap, Target Universal

Hetifah menyarankan pendekatan bertahap. Fase awal, subsidi difokuskan pada sekolah swasta berbiaya rendah dan daerah tertinggal. Baru kemudian, jika sistem sudah stabil, diperluas secara merata. “Evaluasi berkala harus jadi prasyarat. Jangan sampai membebani sistem lebih dari kemampuannya,” katanya.

Realisasi sekolah gratis sembilan tahun, jika berhasil, akan menggeser paradigma pendidikan Indonesia dari eksklusif ke universal. Tapi pertanyaannya bukan lagi “apakah ini penting”, melainkan “mampukah kita menjalankannya?”

Pendidikan gratis adalah janji lama republik. Kini, lewat palu MK, janji itu diperbarui. Tapi sebagaimana semua janji, ia butuh lebih dari sekadar niat. Ia butuh keberanian fiskal, konsistensi politik, dan keberpihakan nyata pada masa depan anak-anak negeri.

Skandal Chromebook Rp9,9 Triliun bukan Sekadar Korupsi

JAKARTAMU.COM | Digitalisasi pendidikan digadang-gadang sebagai jalan pintas Indonesia menuju era baru pembelajaran. Tapi jalan itu kini berubah menjadi...
spot_img
spot_img

More Articles Like This