MALAM itu, rumah Pak Dahlan masih diterangi lampu minyak. Beberapa warga duduk bersila di lantai, sebagian bersandar di dinding, mengusap wajah mereka yang masih terasa perih akibat gas air mata. Suasana masih tegang. Kekacauan siang tadi telah mengubah segalanya.
“Kita harus mencari orang itu,” ucap Hasan sambil memijat dahinya yang nyeri.
Pak Dahlan mengangguk. “Siapa dia?”
Hasan menarik napas. “Namanya Budi Santoso. Dulu dia bekerja sebagai pegawai di kantor pertanahan. Tapi sejak beberapa tahun lalu, dia menghilang. Katanya dia tahu banyak soal permainan kotor dalam urusan tanah.”
Rifki menatapnya serius. “Di mana kita bisa menemukannya?”
Hasan ragu sejenak. “Aku punya kontaknya. Tapi dia sudah lama tak merespons. Kudengar dia tinggal di sebuah desa di perbatasan kota.”
Tegar yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Kalau dia masih hidup, kita harus segera menemuinya sebelum mereka mendahului kita.”
Pak Dahlan menatap mereka satu per satu. “Ini berisiko. Tapi jika benar dia punya bukti, ini bisa mengubah segalanya.”
Rifki mengepalkan tangannya. “Aku akan mencarinya.”
Hasan menatapnya tajam. “Kau yakin? Ini bisa berbahaya.”
Rifki mengangguk. “Aku tak peduli. Mereka sudah mempermainkan kita cukup lama. Sekarang saatnya kita membalikkan keadaan.”
Tegar menyentuh bahunya. “Kalau begitu, kita berangkat besok pagi.”
Di luar, angin malam berembus pelan, membawa aroma garam dari laut yang semakin jauh dari jangkauan mereka.
Pagi-pagi sekali, Rifki, Hasan, dan Tegar menaiki motor menuju desa yang disebut Hasan. Perjalanan memakan waktu hampir dua jam melewati jalan berbatu dan ladang yang terbentang luas.
Ketika mereka tiba, desa itu tampak sepi. Beberapa orang tua duduk di beranda rumah mereka, memandang ketiga pemuda itu dengan tatapan curiga.
Hasan menghampiri seorang lelaki tua yang sedang meraut bambu. “Pak, apakah Budi Santoso tinggal di sini?”
Lelaki itu berhenti bekerja. Matanya menyipit menatap mereka. “Siapa kalian?”
Hasan ragu sejenak. “Kami teman lamanya. Kami perlu bertemu dengannya.”
Lelaki tua itu menatap mereka lama sebelum akhirnya berkata, “Dia tinggal di ujung desa, dekat sungai.”
Mereka bertiga segera berjalan ke arah yang ditunjukkan. Rumah itu kecil dan terbuat dari kayu tua. Pintu tertutup rapat, dan tak ada tanda-tanda kehidupan.
Hasan mengetuk pintu. “Pak Budi?”
Tak ada jawaban.
Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari dalam. Pintu terbuka sedikit, dan seorang pria berusia lima puluhan muncul. Wajahnya kurus dan penuh kerutan. Matanya waspada.
“Apa yang kalian mau?” tanyanya dengan suara serak.
Hasan menelan ludah. “Kami ingin bicara. Ini tentang tanah di pesisir.”
Budi menatap mereka lekat-lekat, lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk.”
Di dalam rumah yang sederhana itu, Rifki dan yang lainnya duduk di lantai. Budi menuangkan kopi ke dalam gelas kaleng yang sudah usang.
“Apa yang kalian tahu?” tanya Budi, suaranya pelan tapi penuh tekanan.
Hasan menarik napas panjang. “Kami tahu ada permainan kotor di balik proyek ini. Kami tahu tanah warga diambil secara paksa. Kami hanya ingin membuktikannya.”
Budi tersenyum sinis. “Bukti? Kalian pikir semudah itu? Mereka sudah menghapus jejaknya sejak lama.”
Rifki menatapnya tajam. “Tapi Anda tahu sesuatu, bukan?”
Budi terdiam sejenak. Ia menyesap kopinya sebelum akhirnya berkata, “Dulu aku bekerja di kantor pertanahan. Aku melihat sendiri bagaimana sertifikat-sertifikat tanah warga dimanipulasi. Mereka menggunakan dokumen palsu untuk mengambil tanah itu tanpa sepengetahuan pemiliknya.”
Tegar mengepalkan tangannya. “Apakah Anda punya dokumen itu?”
Budi menggeleng. “Aku tidak punya dokumen asli. Tapi aku punya salinan digitalnya. Masalahnya, aku tak bisa mengaksesnya lagi. Komputer yang kupakai untuk menyimpan data itu sudah dihancurkan.”
Rifki tak menyerah. “Tapi pasti ada cara lain, bukan?”
Budi terdiam sejenak. Kemudian ia berdiri dan berjalan ke lemari kayu tua di pojok ruangan. Ia menarik sebuah map kusam dan meletakkannya di hadapan mereka.
“Aku masih punya catatan ini. Ini daftar nama pemilik tanah yang diambil secara ilegal. Termasuk tanggal dan modus operandi yang mereka gunakan.”
Hasan mengambil kertas itu dan membacanya. Matanya membelalak. “Ini bukti yang kita butuhkan!”
Budi menghela napas. “Bukti ini tak akan cukup jika kalian tak tahu cara menggunakannya. Jika kalian membawa ini ke pihak yang salah, nyawa kalian bisa melayang.”
Rifki menggertakkan giginya. “Kami tak punya pilihan lain.”
Budi menatap mereka dalam-dalam. “Kalau begitu, dengarkan aku baik-baik. Aku akan memberitahu kalian cara mendapatkan bukti yang lebih kuat. Tapi kalian harus siap menghadapi konsekuensinya.”
Sementara itu, di kantor Irwan, Heru berdiri dengan wajah tegang.
“Pak, mereka menemui Budi Santoso,” lapornya.
Irwan yang sedang merokok hanya mengangkat alisnya. “Apa yang mereka cari?”
“Mungkin bukti tentang manipulasi sertifikat tanah.”
Irwan menghela napas panjang. “Aku sudah menduga ini akan terjadi.”
Heru mengepalkan tangan. “Saya bisa mengirim orang untuk—”
Irwan mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Heru. “Tidak. Kita sudah terlalu banyak membuat kekacauan. Kita harus selangkah lebih pintar dari mereka.”
Heru menatapnya bingung. “Maksud Bapak?”
Irwan tersenyum tipis. “Sebarkan isu bahwa mereka hanya pemuda yang ingin mencari keuntungan sendiri. Buat opini publik berbalik melawan mereka. Gunakan media, gunakan koneksi kita.”
Heru tersenyum sinis. “Saya mengerti.”
Saat itu juga, rencana licik baru mulai dijalankan.
Di luar, dunia terus berjalan, tanpa tahu bahwa di balik tirai, permainan sedang berlangsung.
(Bersambung ke seri-14: Musuh dalam Selimut)