Jumat, Juni 6, 2025
No menu items!

Memaknai dan Mengamalkan Nilai-nilai Substansial Iduladha

Must Read

HARI RAYA Idul Adha adalah satu dari dua hari raya umat Islam setelah Idul Fitri. Kalau Idul Fitri, ummat Islam merayakan kemenangan melawan hawa nafsu setelah lulus berpuasa selama Ramadhan, maka Idul Adha, ummat Islam merayakan kemenangan perjuangan keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, terutama dalam menegakkan tauhid; Taat melaksanakan perintah Allah Ta’ala dengan ikhlas semata-mata karenaNya.

Pada keluarga Nabi Ibrahim As, fakta konkretnya, telah pula mengalahkan godaan serta rayuan iblis la’natullah. Sehingga, pada Idul Adha ummat Islam berada dalam Yaumun Nahr, hari yang sangat dimuliakan dan diagungkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, dimana hari ini kemudian disusul dengan hari tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Pada hari tasyrik, justru diharamkan berpuasa. Ini, menandakan bahwa hari ini adalah hari sangat istimewa bagi setiap muslim dan Muslimah.

Seperti apa kemuliannya? Karena, beriringan dengan hari tasyarik itu, mulai hari Idul Adha kita diperkenankan untuk bersuka-ria, menikmati makanan dan minuman favorit terlebih yang berjenis daging. Hanya saja, keriangan pesta berkaitan Idul Adha ini tidak boleh bersifat boros (tabdzir) dan berlebihan (isyraf).

Khatib kemudian mengingatkan semua jamaah dan ummat Islam, selain saat Idul Adha hingga hari tasyrik dibolehkan bersuka cita. Akan tetapi juga, jangan sampai melupakan bersyukur kepada Allah. Lain itu, selaku ummat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam semestinya mempelajari, mengambil, dan melaksanakan nilai-nilai (hikmah) dari Idul Adha.

Hal ini dipandang sangat penting, karena pada dasarnya, tujuan utama (the ultimate goal) dari setiap ibadah kepada Allah Ta’ala, termasuk ibadah haji dan qurban mempunyai tujuan agar menjadi hamba Allah yang taqwa.

Taqwa, berarti menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi setiap larangan-Nya dengan kemampuan (power) yang dimiliki setiap muslim-mukmin. Dalam makna lain, hamba Allah yang taqwa berarti juga semaksimal mungkin berupaya menghadirkan ekosistem (situasi dan kondisi) kehidupan masyarakat (berbangsa dan bernegara) yang kondusif bagi setiap orang untuk menjalankan ketaqwaannya (amal saleh), bukan sebaliknya kondusif untuk berbuat yang diharamkan oleh Allah.

Keadaan ummat Islam di Indonesia

Sudah hampir 80 tahun Republik Indonesia merdeka. Berarti, ummat Islam Indonesia yang merupakan mayoritas penduduk (87 persen) di Indonesia, secara kolektif sudah 78 kali menunaikan ibadah haji, ibadah qurban, ibadah puasa ramadhan, dan 80 kali merayakan Idul Adha dan Idul Fitri.

Seharusnya, semua kumulatif ibadah itu, telah mampu menjadikan umat Islam dan bangsa Indonesia hidup sukses dan bahagia, serta mampu mewujudkan cita-cita luhur Kemerdekaan RI; Yakni, Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Indonesia Emas).

Hal ini sesuai dengan janji (komitmen) Allah, antara lain sebagaimana firman-Nya:

Artinya : “…Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS At Talaq: 2)

…Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya….” (QS At Talaq: 3)

… Dan barang -siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS At Talaq: 4)

… dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya, dan akan melipat gandakan nilai kabaikan (pahala) baginya.” (QS At Talaq: 5)

Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan (hanya) bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Ali-Imran: 133)

Dan, juga terdapat di dalam QS. At-Tur (52), ayat-17: Yang artinya; “Sesunggunya orang-orang yang bertaqwa berada dalam surga dan kenikmatan.

Dan, banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi tentang jaminan masuk surga bagi orang-orang yang taqwa. Sedangkan di dalam Surat Al-Araf Ayat 96: Artinya: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”

Pertanyaannya kemudian, mengapa kehidupan Umat Islam, baik di Indonesia mau pun di tingkat dunia pada umumnya masih kurang sejahtera dan tertinggal. Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, pun masih sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income country) dengan GNI (Gross National Income) atau Pendapatan Nasional Bruto per kapita 5.000 dolar AS (BPS, 2024).

Padahal, suatu negara bisa dinobatkan sebagai negara kaya (makmur) atau berpendapatan tinggi (high-income country), bila GNI per kapitanya diatas 14.005 dolar AS (World Bank, 2024). Lebih dari itu, angka kemiskinan pun masih tinggi, sekitar 24,5 juta jiwa atau 9 persen total penduduk. Dan, jumlah penduduk yang rentan miskin mencapai 40 persen (BPS, 2024).

Menurut World Bank (2024), angka kemiskinan Indonesia masih sekitar 37 persen total penduduk atau sekitar 112 juta orang. Yang lebih menyesakkan dada adalah, bahwa sekitar 183,7 juta orang (68 persen total penduduk Indonesia) tidak mampu memenuhi makanan bergizi seimbang, dengan harga hanya Rp22.126 per hari (Litbang Kompas, 9 Desember 2022).

Lain itu, sekitar 61,7 persen dari 65 juta unit rumah yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara tergolong tidak layak huni (Bappenas, 2019).
Dalam hal ketimpangan antara penduduk kaya vs miskin (economic inequality) pun, Indonesia merupakan negara terburuk ketiga di dunia, setelah Rusia dan Thailand.

Laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6 persen kue kemakmuran secara nasional, sementara 10 persen orang terkaya menguasai 74,1 persen.

Yang pasti, kemiskinan, kekurangan gizi, kelaparan, ketimpangan kaya vs. miskin, dan ketertinggalan sebuah negara-bangsa adalah bertentangan (tidak sesuai) dengan nilai-nilai Islam, termasuk nilai-nilai yang terkandung dalam Idul Adha. Sebab, Islam sebagai pedoman hidup manusia, dengan segenap syariat dan aturannya, diturunkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk kebaikan dan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat, dan untuk rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana disetir dalam di dalam Alqur-an Surat Al-Baqarah: 201; QS. Al-
Qasas: 77; QS. Al-Anbiya: 107).

Islam, melarang manusia hidup bermegah-megahan (flexing), menumpuk harta, dan tidak menolong anak yatim dan orang miskin untuk bisa hidup sejahtera (QS. Al-Humazah [104]: 2; dan QS. Al-Ma’un [107]: 1, 2,3, dan 7). Karena, bermegah-megahan, menumpuk harta, dan tidak menolong orang miskin, adalah akar masalah (the root cause) dari ketimpangan ekonomi dan ketidak-adilan.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang kenyang semalaman, sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya.” (HR. At-Tabrani).

Islam juga mendorong ummatnya untuk bekerja keras dan produktif sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah di banyak Haditsnya, antara lain: “Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan karena upaya ketrampilan kedua tangannya (kerja keras) pada siang hari, maka pada malam itu, ia diampuni oleh Allah.” (HR. Ahmad).

Sungguh, seorang dari kalian yang memanggul kayu bakar dan dibawa
dengan punggungnya lebih baik baginya daripada dia meminta kepada orang lain, baik orang lain itu memberinya atau menolaknya
.” (HR. Bukhari).

Faktanya yang mesti jadi bahasan secara bersama-sama, produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya setara dengan 13,1 dolar AS per jam kerja, yang menempati urutan-5 di kawasan ASEAN. Bangsa yang paling produktif di kawasan ini adalah Singapura sebesar 73,7 dolar AS per jam kerja, disusul Brunei Darussalam peringkat-2, sebesar 57,9 dolar AS per jam kerja. Kemudian, Malaysia (ke-3) sebesar 26 dolar AS per jam kerja, dan Thailand (ke-4) sebesar 15,2 dolar AS per jam kerja (ilostat.ilo.org, Desember 2021).

Hal lain yang juga masih menjadi PR para pemimpin ummat Islam adalah, pada dewasa ini kejujuran, amanah, keikhlasan, dan persatuan (ukhuwah) telah menjadi barang langka di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak sedikit para pemimpin dan elit bangsa kita yang hanya mengumbar janji pada saat kampanye, tanpa realisasi ketika terpilih menjadi pemimpin atau wakil rakyat.

Pencitraan, kebohongan, menggunakan dokumen palsu, dan hoax dijadikan alat untuk memamerkan kinerjanya. Bukan karya nyata dan platinum legacy yang dapat mencerdaskan, mensejahterakan, dan membahagiakan rakyatnya.

Persatuan dan persaudaran (ukhuwah) begitu mudahnya digaungkan, terutama oleh para pemimpin di negeri ini. Akan tetapi, pidato dan kerjaan mereka justru membuat masyarakat kian terbelah (terfragmentasi), seperti kadrun vs kampret, dan pembelahan masyarakat berbasis perbedaan lainnya.

Kasih sayang, perdamaian, dan saling tolong menolong antar komponen bangsa semakin memudar. Sesama Ormas Islam dan Partai Islam masih saling berebut pengaruh, kekuasaan, harta, dan bertikai. Padahal, akhlak utama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan paripurna bagi semua dan seluruh ummat Islam, adalah: shiddiq (jujur), amanah, fathonah (cerdas dan visioner), tabligh, sabar, pemaaf, penyayang, dan penolong. (*)

|* Ringkasan naskah Khutbah Idul Adha yang akan sampaikan Prof. Dr Ir H Rokhmin Dahuri, MS., di Lapangan Perguruan Muhammadiyah Cabang Matraman, Jakarta Timur pada 10 Dzulhijjah 1446 H/6 Juli 2025.

Menghidupkan Spirit Jurnalisme Mencerahkan Haji Fachrodin

BANDUNG, JAKARTAMU.COM | Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Sosial dan Humaniora (FSH) bersama Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Muhammadiyah...
spot_img
spot_img

More Articles Like This