KETIKA kapal kemanusiaan Gaza Freedom Flotilla ditahan Angkatan Laut Israel pada 9 Juni 2025 di perairan internasional, dunia dikejutkan kabar bahwa salah satu aktivis di dalamnya adalah Rima Hassan. Perempuan muda adalah anggota Parlemen Eropa yang bersuara lantang Palestina di jantung kekuasaan Eropa. Ia menjadi simbol baru keberanian diaspora yang tak sudi diam menghadapi penindasan.
“Pembelaan terhadap Palestina adalah tanggung jawab moral generasi diaspora,” tegas Rima kepada Harian Libération pada 2024. Pernyataan itu pantas keluar dari bibir Rima yang memang menyandangnya sejak lahir.
Rima Hassan lahir pada 28 April 1992 di kamp pengungsi Neirab, Suriah. Ia adalah anak dari keluarga Palestina yang terusir setelah desa Al-Birwa di Galilea, kampung halaman sang ayah yang dihancurkan pasukan Israel pada 1948. Masa kecilnya dilalui tanpa kewarganegaraan. Baru pada usia 18 tahun, saat mendapat paspor Prancis pada 2010, ia memiliki identitas legal untuk pertama kali.
Namun, menjadi warga negara Prancis tak menghapus akar Palestina-nya. Di Paris, ia menempuh pendidikan hukum di Universitas Évry dan Universitas Montpellier, lalu meraih gelar magister hukum internasional di Universitas Paris 1 Panthéon-Sorbonne. Tesisnya membandingkan sistem apartheid Afrika Selatan dan Israel—sebuah tanda awal bahwa karier hukumnya akan ditenagai oleh komitmen politik.
“Saya tidak bisa bicara soal keadilan tanpa menyebut Palestina,” katanya dalam wawancara dengan Le Monde pada 2024.
Dari hukum, Rima masuk ke kerja nyata, melayani pencari suaka di OFPRA dan CNDA, sebelum mendirikan Observatoire des Camps de Réfugiés pada 2019, organisasi pemantau kamp pengungsi global. Ia juga mendirikan Action Palestine France pada 2023 di tengah agresi Israel ke Gaza, menyerukan boikot internasional terhadap Israel.
Menolak Solusi Dua Negara
Rima tak menyamarkan posisinya. Dalam forum publik di Senat Prancis pada Februari 2023, ia menyebut Israel sebagai “rezim apartheid” yang dibangun atas sistem diskriminatif sistematis. Ia menolak solusi dua negara yang menurutnya hanya melanggengkan status quo colonial. Sebaliknya Rima lebih mendukung solusi satu negara dengan hak yang setara untuk semua warga, Yahudi dan Arab.”
Pernyataan-pernyataan ini membuatnya diserang, tapi juga melambungkan namanya. Saat mencalonkan diri dalam pemilu Parlemen Eropa lewat partai sayap kiri La France Insoumise (LFI), ia dituduh mendukung kekerasan karena menyebut perlawanan bersenjata sebagai hak sah bangsa yang dijajah.
Pada Januari 2024 melalui saluran televisi France 5, Rima menjawab lugas tuduhan mendukung kekerasan terhadap warga sipil Israel yang dialamatkan kepadanya. “Saya tak mendukung kekerasan terhadap warga sipil, tapi saya menolak menyamakan perlawanan terhadap penjajahan dengan terorisme.”
Ia pun terpilih pada Juli 2024, menjadi perempuan Palestina pertama yang duduk di Parlemen Eropa. Sejak itu, ia tetap vokal. Ia bahkan menolak mengecam slogan “From the river to the sea” yang dianggap sebagian pihak sebagai seruan anti-Yahudi.
“Bagi saya, itu bukan panggilan untuk pemusnahan, melainkan untuk kesetaraan dan kebebasan di seluruh wilayah antara Sungai Yordan dan Laut Tengah,” ujarnya pada Libération (Mei 2024).
Sikap Rima Hassan Bikin Israel Gerah
Sikapnya membuat Israel gerah. Pada Februari 2025, ia ditahan dan langsung dideportasi begitu mendarat di Bandara Ben Gurion. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel menyebutnya “pendukung BDS dan perpanjangan tangan Hamas.” Tapi puncaknya terjadi pada 9 Juni 2025, ketika ia bergabung dalam Gaza Freedom Flotilla.
Rima naik kapal Madleen bersama aktivis dunia seperti Greta Thunberg dan anggota parlemen dari Spanyol, Irlandia, dan Swedia. Mereka membawa bantuan medis untuk Gaza yang diblokade penuh sejak Oktober 2023. Di perairan internasional, kapal dihentikan paksa oleh Angkatan Laut Israel.
Menurut laporan The Guardian edisi 10 Juni 2025, penangkapan terjadi dengan kekerasan. Rima dan aktivis lain dibawa ke pusat tahanan di Ashdod. Seorang pengacara dari LSM Gisha menyebut: “Mereka diperlakukan seperti kriminal hanya karena membawa bantuan kemanusiaan.”
Hingga 12 Juni 2025, Rima masih ditahan. Otoritas Israel menyatakan para aktivis akan dideportasi secara bertahap. Namun tak jelas apakah Rima akan diperlakukan berbeda karena status diplomatiknya.
Dari kamp Neirab hingga pusat kekuasaan Eropa, dari pengadilan suaka hingga ruang tahanan Israel, Rima Hassan terus menyuarakan kebebasan dan keadilan untuk Palestina. Ia tahu betul apa risikonya. Tapi juga tahu bahwa diam adalah pengkhianatan terhadap akar dan sejarahnya. (*)