Kamis, Juni 26, 2025
No menu items!

Bank Syariah Muhammadiyah: Membuka Loop Ekonomi Sendiri

Rencana Pendirian Bank Syariah Muhammadiyah Jadi Sinyal Frustrasi Sekaligus Strategi Konsolidasi

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Di tengah gegap-gempita pembangunan ekosistem ekonomi syariah nasional, Muhammadiyah memilih jalan sendiri: mendirikan bank syariah milik internal. Gagasan ini bukan sekadar penegasan identitas organisasi, melainkan koreksi atas pengalaman pahit mereka sebagai “nasabah besar yang diperlakukan kecil”.

Wakil Ketua Majelis Ekonomi, Bisnis, dan Pariwisata (MEBP) PP Muhammadiyah, Mukhaer Pakkanna, mengungkapkan bahwa dana-dana besar milik Muhammadiyah yang tersebar di bank-bank umum, termasuk Bank Syariah Indonesia (BSI), selama ini tidak diimbangi dengan kemudahan akses pembiayaan. Dalam istilahnya: “Kita punya uang banyak di sana, tapi ketika mau pinjam, dipersulit. Kita tak pernah jadi nasabah spesial.”

Pernyataan itu menyiratkan akar frustrasi dari ormas besar yang punya lebih dari 170 perguruan tinggi, 400 rumah sakit dan klinik, serta ribuan amal usaha lain. Muhammadiyah adalah miniatur negara dalam skala ekonomi dan jaringan. Tapi di mata lembaga keuangan, mereka masih harus mengantre seperti UMKM biasa. Maka, keputusan untuk membentuk Bank Muhammadiyah menjadi respons strategis sekaligus simbolik.

Dari Konsolidasi BPR ke Ambisi Nasional

Langkah konkret sudah dimulai. Muhammadiyah kini tengah mengonsolidasikan 17 BPR dan BPR Syariah (BPRS) yang tersebar di berbagai daerah. Entitas yang dijadikan embrio bank syariah nasional itu adalah BPRS Matahari Artadaya milik Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA). Entitas ini akan “naik kelas” menjadi bank umum syariah nasional. Skemanya bukan merger horizontal, tapi transformasi satu entitas menjadi jangkar, dan BPRS lain menjadi pemegang saham atau cabang operasional.

Mukhaer menyebut dana permodalan tahap awal disiapkan minimal Rp100 miliar sehingga cukup untuk syarat kategori Bank Buku 4 dari OJK. Target jangka pendeknya adalah mendapat izin operasional tahun ini juga. Target jangka panjangnya: menjadi bank syariah dengan jaringan nasional, mengikuti ritme organisasi induknya yang mengakar dari pusat kota hingga pelosok kecamatan.

“Cabang-cabang BPRS di daerah bisa langsung jadi kantor cabang bank,” ujar Mukhaer dikutip dari Republika, Kamis, 26 Juni 2025.

Loop Tertutup Ekonomi Umat

Apa yang ditawarkan Bank Muhammadiyah bukan sekadar layanan perbankan. Lebih dari itu, ini adalah model ekonomi tertutup (closed loop economy) yang berputar di dalam jaringan Muhammadiyah itu sendiri: dari dana yang disimpan, dikelola, hingga disalurkan kembali ke amal usaha, koperasi, hingga saudagar anggota.

Konsep ini sekaligus menjadi koreksi terhadap model ekonomi syariah nasional yang masih sangat state-led dan market-driven. Muhammadiyah menawarkan model berbasis komunitas dan jaringan sosial: “Lebih baik dana itu diputar di bank sendiri. Muhammadiyah punya banyak usaha kecil, mikro, dan itu butuh pembiayaan. Jadi ekonomi bisa berputar di dalam,” ujar Mukhaer.

Dengan logika ini, Muhammadiyah tak lagi menunggu perlakuan istimewa dari BSI atau bank-bank milik negara lainnya. Mereka menciptakan jalur sendiri. Dan karena Muhammadiyah punya infrastruktur sosial yang masif, bank ini bukan sekadar bank. Ia bisa menjadi instrumen transformasi ekonomi kolektif yang selama ini tercecer.

Ambisi ini muncul saat sektor keuangan syariah nasional sedang tumbuh, tetapi menghadapi tantangan serius: fragmentasi pasar, rendahnya literasi keuangan, dan belum solidnya inklusi digital. Bahkan BSI sendiri masih bergantung pada topangan pemerintah dan jaringan ASN.

Di Aceh, misalnya, sinergi antara Bank Indonesia dan BSI masih berfokus pada literasi, digitalisasi layanan, dan penguatan ekosistem halal. Tapi di luar Aceh, tidak banyak cerita sukses serupa. Maka, kehadiran bank Muhammadiyah bisa memberi warna baru: bank yang lahir dari konsolidasi sosial-budaya, bukan dari pemekaran birokrasi keuangan.

Misi, Bukan Murni Komersial

Bank Muhammadiyah tak lahir dari motif profit semata. Sejak awal, bank ini membawa misi pemberdayaan. Di balik jargon “bank sendiri”, terselip keinginan untuk menguatkan posisi umat Islam dalam sistem keuangan nasional. Seperti dikatakan Mukhaer, “Kalau jalan sendiri-sendiri, kita hanya main di lokal. Tapi kalau digabung, kita bisa nasional.”

Inilah narasi baru tentang keuangan syariah: bahwa kesalehan tak cukup hanya diatur oleh negara, tapi harus dibangun oleh jaringan-jaringan sipil yang solid dan percaya diri.

Bank Muhammadiyah belum beroperasi. Namun ide dan tekadnya sudah beredar ke seluruh cabang. Yang tersisa adalah ujiannya: apakah jaringan besar Muhammadiyah bisa mentransformasikan struktur sosial mereka menjadi kekuatan keuangan yang nyata? Atau justru tersandung pada ego sektoral dan birokrasi internal?

Yang pasti, ini bukan sekadar pendirian bank. Ini adalah deklarasi ekonomi dari salah satu ormas Islam terbesar di dunia—bahwa ekonomi umat bisa digerakkan dari dalam, bukan sekadar menunggu akses dari luar. (*)

Integrasi Coding dan AI Latih Siswa Berpikir Kritis Analisis

TANGERANG SELATAN, JAKARTAMU.COM | Coding dan Kecerdasan Artifisial (KA) telah menjadi kebutuhan mendasar dalam pendidikan modern. Karena itulah, Kementerian...
spot_img
spot_img

More Articles Like This