PAGI yang cerah mengawali perayaan Milad ke-112 Muhammadiyah di Monas akhir tahun lalu. Ribuan kader, warga, dan simpatisan Muhammadiyah memadati lapangan bersejarah itu sejak matahari belum tinggi. Ketika Goes Plus naik ke atas panggung dan melantunkan tembang-tembang terkenal band legendaris Koes Plus, suasana berubah hangat penuh semangat. Tak sedikit dari hadirin yang ikut berdendang dan bernyanyi bersama, larut dalam irama yang membawa kenangan sekaligus harapan.
Semuanya berawal dari sebuah pertemuan. Begitu kata pentolan Goes Plus, Prof. Dr. Agus Suradika, M.Pd. Lelaki yang menjabat sebagai Wakil Ketua PWM DKI Jakarta itu membagikan kisah inspiratif di balik terbentuknya Goes Plus dan bagaimana band berkembang menjadi media dakwah yang diterima warga Muhammadiyah, juga masyarakat umum
Pada tahun 2012, Agus Suradika bersama beberapa pecinta Goes Plus dari Pemda DKI Jakarta berkumpul dalam sebuah tribute untuk mengenang karya-karya Koes Plus dan Benyamin Sueb. Sebagai seorang pendidik, kecintaan Agus terhadap musik tidak hanya berhenti pada nostalgia semata, tetapi juga menjadi jalan untuk membentuk The Teachers, sebuah kelompok guru-guru yang memiliki keterampilan bermusik.
“Kami, para guru, menyanyikan lagu-lagu Benyamin dan Goes Plus,” kenangnya.
Awalnya, The Teachers hanya terdiri atas guru-guru di lingkungan Pemda DKI. Namun, seiring waktu dan perubahan tempat kerja, Agus mulai berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk staf Pemda seperti Arief, seorang pelestari lagu Goes Plus.
Lahirnya Goes Plus sebagai sebuah band semakin kuat ketika dukungan dari berbagai tokoh datang. Kala itu, di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, kecintaan terhadap Goes Plus di semakin meluas di lingkungan Pemprov DKI. Hal ini berlanjut di masa kepemimpinan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Goes Plus semakin dikenal dan kerap menjadi home band dalam acara-acara Pemprov DKI.
Tahun 2018 menjadi titik balik bagi Agus. Ia kembali ke dunia akademik dan mulai memperkenalkan Goes Plus di lingkungan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Namun, saat itu, memperkenalkan musik ke lingkungan Muhammadiyah masih menjadi tantangan. “Musik masih dianggap tabu,” ujarnya.
Agus pantang menyerah. Ia mulai membawa Goes Plus ke Lembaga Seni Budaya (LSB) Muhammadiyah pada tahun 2022. Sejak saat itu, banyak diskusi tentang kesenian mulai berkembang.
LSB tidak hanya aktif dalam bidang musik, tetapi juga dalam seni pertunjukan. Drama-drama seperti “Kedalan” dan “Juanda” semakin menarik perhatian, bukan hanya dari warga Muhammadiyah, tetapi juga dari masyarakat umum. Bahkan, ada yang akhirnya memilih bergabung dengan Muhammadiyah setelah melihat bagaimana seni bisa menjadi bagian dari dakwah.
“Di setiap drama, ada dua pengiring, Gambang Kromong dan Band. Nah, Goes Plus jadi pengiring tetapnya,” ujar Agus. Inilah yang membuat Goes Plus semakin dikenal di Muhammadiyah. Sejak itu, band ini telah mengiringi berbagai acara Muhammadiyah hingga empat kali dalam satu tahun, termasuk dalam perayaan Hari Kemerdekaan.
Menariknya, konsep dakwah yang diusung tidak lagi konvensional. Agus mulai merancang konsep “Nada dan Dakwah”, di mana ceramah tidak hanya disampaikan dalam bentuk kata-kata, tetapi juga melalui musik.
“Saya berharap Goes Plus bisa menjadi home band-nya PWM, menularkan semangat kesenian yang berbasis agama,” tutup Agus dengan penuh optimisme.
Goes Plus membuktikan seni dan dakwah bisa berjalan beriringan. Musik adalah hiburan untuk menjembatani menyampaikan nilai-nilai agama dengan cara yang lebih dekat dan menyentuh hati. Semoga langkah Goes Plus semakin memberi warna dalam dakwah dan kesenian Islam di Indonesia. (*)
