Rabu, Juli 2, 2025
No menu items!

Dua Luka dalam Satu Atap (2): Jejak Wangi yang Tak Pernah Kukenal

Must Read

PAGI merekah dengan matahari pucat yang enggan bersinar. Aku terbangun lebih cepat dari biasanya. Mungkin karena semalaman aku tak benar-benar tidur. Hanya berguling, memejamkan mata, mencoba pura-pura tak mendengar detak jam dinding yang terdengar semakin keras. Detak itu seolah mengukur seberapa lama aku sanggup berpura-pura baik-baik saja.

Kau masih terlelap di sisi ranjang. Wajahmu tampak damai. Ironis, karena kedamaian itu tak pernah mampir ke dalam mimpi-mimpiku yang kini dipenuhi tanya. Aku menatapmu lama, berharap ada jawaban yang tiba-tiba muncul dari garis wajahmu yang dulu begitu kukagumi. Namun yang kutemukan hanya jarak, selebar jurang yang tak bertepi.

Aku bangkit, melangkah ke lemari. Tanganku meraba kemeja yang kau pakai kemarin. Jemariku berhenti di kerahnya. Ada wangi samar yang tak pernah menjadi bagian dari rumah ini. Wangi bunga segar bercampur parfum tajam. Sejenak aku mendekatkan kain itu ke wajahku, mencoba mencari celah keraguan yang bisa kucengkeram agar tak runtuh.

Tapi bau itu nyata. Dan bersama bau itu, ada perasaan aneh yang merambat di dadaku. Hangat, getir, memalukan. Seperti sedang mengintip sesuatu yang sebenarnya sudah lama kualami, hanya saja baru hari ini kuakui: kau tak lagi sepenuhnya milikku.

Aku duduk di tepi ranjang, memandangi kemeja itu di pangkuanku. Rasanya seperti sedang memegang bukti kejahatan. Bukti yang tak bisa kutunjukkan pada siapa pun, karena aku sendiri belum punya keberanian untuk menuduhmu. Bukankah lebih mudah berpura-pura tak tahu? Lebih sederhana memaafkan tanpa memastikan kebenarannya?

Suara ponselmu memecah keheningan. Getarannya terdengar mendesak. Kau terjaga, mengerjapkan mata, lalu meraih ponsel dengan gerakan cepat. Kau membaca layar, dan sekelebat aku menangkap perubahan di matamu: kaget, gugup, lalu kembali datar.

Aku ingin bertanya, tapi lidahku kelu. Kau berdiri, tak menatapku, hanya bergumam, “Aku harus berangkat lebih pagi.”

Secepat itu. Seolah tak ada yang layak dijelaskan.

Seusai kau pergi, aku duduk di meja makan yang kosong. Sepiring roti dingin menunggu disentuh. Aku menatap kursi di seberang, tempat kau biasa duduk sambil menceritakan rencana kerja. Kini tak ada cerita, tak ada tawa. Hanya sisa kopi yang menetes di tatakan cangkir.

Hari beranjak siang, dan aku mencoba menyibukkan diri. Menyapu lantai, mencuci pakaian, merapikan lemari yang tak berantakan. Apa pun, asal tak memberi ruang bagi pikiran buruk menyesakkan dadaku. Tapi upaya itu sia-sia. Dalam sunyi, aku terus teringat bau parfum asing itu.

Sore datang membawa angin lembab. Aku duduk di teras, menatap jalanan sepi. Dalam lamunanku, terputar kilas balik malam tujuh tahun lalu, saat kau melamarku. Hujan deras mengguyur kota. Kau datang membawa setangkai bunga dan mata berbinar.

Kau berjanji di hadapan ayahku, “Aku tak akan menyakiti putri Bapak. Dia akan kucintai seumur hidup.”

Seumur hidup. Kata-kata itu kini terdengar seperti ironi. Seperti kalimat manis yang tak pernah kau maksudkan untuk kau tepati.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal:

Apakah suamimu sudah pulang? Sepertinya dia bersamaku sore ini.

Dadaku seketika berhenti berdetak. Jemariku gemetar saat mencoba mengetik balasan. Namun pesan itu hanya terbaca, tanpa tanda si pengirim masih menunggu jawaban.

Aku menatap layar lama, berharap ini hanya tipuan iseng. Tapi entah mengapa hatiku tahu, ini mungkin potongan kebenaran yang selama ini kutolak.

Senja turun perlahan, menciptakan bayang-bayang panjang di dinding rumah. Saat malam datang, aku duduk di ruang tamu dengan lampu redup. Menunggu langkahmu pulang, menunggu jawaban yang kutakutkan.

Jam dinding berdetak seperti palu godam yang memecah sisa keyakinan. Kau pulang larut malam. Kali ini tak mencoba menyembunyikan wangi itu. Parfum asing yang melekat di jaketmu kini seakan mengejekku tanpa suara.

Kau hanya menunduk. Tak satu pun kalimat keluar dari bibirmu.

Dan di saat itu, aku tahu: malam ini mungkin bukan akhir, tapi barangkali sudah cukup alasan bagiku untuk tak lagi percaya.

(Bersambung seri ke-3: Kisah yang Tak Pernah Kau Ceritakan)

Ini Kata Anwar Abbas soal Bank Syariah Muhammadiyah

JAKARTAMU.COM | Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Anwar Abbas membuka opsi pendirian Bank Umum Syariah Muhammadiyah. Menurut dia itu...

More Articles Like This