JAKARTAMU.COM | Di sebuah ruangan tua di kompleks Kauman, Yogyakarta, sejarah seperti menyelinap di antara sisa-sisa bangku dan papan tulis yang mulai lapuk. Tak banyak yang tahu bahwa dari tempat sederhana inilah, cikal bakal sekolah-sekolah Muhammadiyah pertama dibangun.
Di balik pencapaian gemilang gerakan pendidikan Islam modern ini, nama Kiai Ahmad Dahlan memang kerap dielu-elukan. Namun, ada satu nama yang bekerja dalam diam, membangun fondasi yang kini menjelma menjadi ratusan sekolah dan universitas: Hisyam bin Haji Hoesni.
Putra Kauman kelahiran 1883 ini bukan hanya murid setia Kiai Dahlan, tapi juga organisator ulung. Dalam catatan Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, saat ini Muhammadiyah memiliki 170 perguruan tinggi, hampir menyamai jumlah perguruan tinggi negeri se-Indonesia. Sebuah capaian yang jejaknya bisa dilacak pada rapat di Gedung Hoofdbestuur Muhammadiyah, 17 Juli 1920. Kala itu, Kiai Hisyam ditunjuk memimpin Bagian Sekolahan. Ia tidak membuang waktu.
“Saya akan membawa kawan-kawan kita… sampai dapat menegakkan gedung universiteit Muhammadiyah yang megah,” ucapnya penuh tekad. Pernyataan itu kini terasa seperti nubuat yang tergenapi.
Meniru untuk Menangkal
Tantangan terbesar Muhammadiyah pada awal abad ke-20 bukan hanya kemiskinan dan keterbelakangan, tetapi juga serbuan pemurtadan dari misi Kristen di Jawa Tengah dan Timur. Dalam situasi ini, Kiai Dahlan tak segan meniru model Zending: mendirikan sekolah, rumah sakit, bahkan organisasi wanita.
“Muhammadiyah adalah gerakan dakwah kultural,” tulis Syarifuddin Jurdi dalam Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia (2010). Dan di jalur pendidikan inilah, Hisyam mengambil posisi strategis. Ia sadar, jika ingin melawan dengan efektif, Muhammadiyah harus “bermain” di sistem yang sama: mendirikan sekolah dengan kurikulum dan standar ala Belanda, namun berjiwa Islam.
Ia mulai membuka volkschool tiga tahun, vervolgschool sambungan, hingga standaardschool enam tahun. Semuanya mengikuti pola Belanda, bahkan dengan bahasa pengantar Belanda—sesuatu yang tak umum dilakukan oleh sekolah pribumi waktu itu. Tak hanya itu, ketika para misionaris membuka HIS met de Bijbel, Muhammadiyah menyainginya dengan HIS met de Qur’an.
Dalam tempo 12 tahun, Hisyam membuktikan ucapannya. Ketika mengakhiri masa jabatannya pada 1932, Muhammadiyah telah memiliki 244 sekolah berbagai jenjang. Lompatan yang luar biasa, mengingat dalam satu dekade pertama Muhammadiyah hanya memiliki beberapa puluh sekolah.
Dari Sekolahan ke Pucuk Organisasi
Hisyam bukan hanya organisator, tapi juga jembatan antara dunia pesantren dan tata kelola modern. Ia adalah abdi dalem keraton Yogyakarta, pedagang batik, sekaligus aktivis Boedi Oetomo atas permintaan Kiai Dahlan. Ia menulis di majalah Suara Muhammadiyah, mengelola laporan keuangan, dan mendampingi proses legalitas Muhammadiyah di pemerintah kolonial.
Tahun 1932, ia naik menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Pengaruhnya meluas. Pemerintah Hindia Belanda bahkan memberinya penghargaan Ridder van Oranje Nassau, gelar ksatria Kerajaan Belanda yang langka diberikan kepada tokoh pribumi.
Namun, penghargaan itu tak membuat Hisyam jumawa. Ia tetap bekerja senyap, tak banyak meninggalkan catatan tentang dirinya. Bahkan makamnya di Yogyakarta pun tak ramai dikunjungi. Padahal, jika Muhammadiyah kini berdiri megah dengan universitas dan rumah sakit di seluruh penjuru Nusantara, sebagian besar bata pertama disusun oleh tangannya.
Sebuah Warisan yang Tak Selesai
Hisyam wafat pada 20 Mei 1945, tiga bulan sebelum Proklamasi. Ia tak sempat menyaksikan Indonesia merdeka, apalagi berdirinya Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan, dan puluhan lainnya. Tapi cita-citanya tak sia-sia. Visi mendirikan “universiteit Islam” Muhammadiyah kini menjadi kenyataan.
Pada ulang tahunnya yang ke-112, Muhammadiyah telah menjelma menjadi salah satu kekuatan sosial-keagamaan terbesar di Asia Tenggara. Namun, dalam riuh tepuk tangan dan narasi heroik tentang Kiai Dahlan, barangkali ada baiknya kita berhenti sejenak, lalu menyebut nama yang nyaris hilang dari pelajaran sejarah itu: Kiai Hisyam, sang ksatria pendidikan dari Kauman.
.