Senin, Juni 16, 2025
No menu items!

KH Abdur Rozak Fachruddin: 22 Tahun Memimpin, 0 Tanda Tangan Polemik

Selama lebih dari dua dekade, Pak AR memimpin Muhammadiyah dengan wajah ramah, lisan lembut, dan hati lapang. Ia bukan orator yang meledak-ledak, tapi menyejukkan seperti embun di pagi hari. Di balik kesederhanaannya, mengalir kekuatan yang menjaga Muhammadiyah tetap utuh di tengah gelombang zaman.

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Yogyakarta, 1968. Kala itu Muhammadiyah baru saja kehilangan nakhoda. K.H. Faqih Usman wafat di tengah perjuangan membumikan dakwah Islam progresif. Organisasi sempat limbung. Hingga suara itu muncul dari tengah-tengah sidang Pimpinan Pusat Muhammadiyah: “Pak AR saja.” Suara yang mula-mula samar itu, tiba-tiba menjadi kesepakatan tanpa debat.

Abdur Rozak Fachruddin, atau Pak AR, tak pernah meminta jabatan itu. Bahkan seolah ditakdirkan untuk fait accompli: ditunjuk dan diterima begitu saja. Tapi mungkin karena itulah Allah titipkan kepemimpinan itu padanya: karena ia tidak mengejarnya. Maka selama 22 tahun berikutnya, organisasi dakwah modern terbesar di dunia ini dipimpin oleh pria sederhana dari Bleberan, Kulonprogo.

Dari Desa ke Puncak Pimpinan

Pak AR lahir pada 14 Februari 1916 di kawasan Pakualaman, Yogyakarta. Ayahnya, K.H. Fachruddin, adalah Penghulu di lingkungan Puro, dan ibunya dari kalangan keluarga kiai. Tapi jalan hidup Pak AR lebih banyak ditentukan oleh kesederhanaan dan ketekunan. Ia bukan anak kota. Sejak kecil mondar-mandir dari sekolah Muhammadiyah di Bausasran, Prenggan, hingga akhirnya menempuh pendidikan di Madrasah Muallimin.

Ia sempat putus sekolah karena ayahnya jatuh miskin. Tapi hidupnya tak pernah putus dengan ilmu. Ia belajar dari pesantren ke pesantren, dari ayahnya sendiri hingga para ulama di desa. Sepulang belajar, ia mengajar. Di masjid, di madrasah, di kampung, di perkebunan karet, bahkan sampai ke pedalaman Ogan Komering Ilir. Di masa muda, ia telah jadi muballigh keliling Sumatera Selatan, menghidupkan cabang-cabang Muhammadiyah yang nyaris mati.

“Muhammadiyah dibangun dari bawah,” katanya suatu ketika. “Dan kalau ingin memimpinnya, kita harus tahu bagaimana susahnya bergerak di bawah.”

Lidah yang Menyejukkan, Bukan Membakar

Gaya dakwah Pak AR jauh dari gaya massa. Ia tidak berteriak, tidak membakar emosi, tidak mendramatisasi ancaman. Tapi kata-katanya menancap pelan, dalam, dan lama. Ia menyampaikan Islam seperti orang tua menasihati anak: tenang, mengajak, bukan menyudutkan.

Ketika Paus Yohanes Paulus II datang ke Yogyakarta pada 1989, Pak AR menyambutnya sebagai sesama pemimpin umat beragama. Tapi di balik sikap ramah itu, terselip kritik yang tajam, disampaikan lewat surat terbuka dalam bahasa Jawa halus. Ia menyesalkan praktik konversi agama melalui bujukan materi. Tapi tidak dengan marah, apalagi mengecam. Kritiknya diterima justru karena kelembutannya.

Itulah kelebihan Pak AR: menyampaikan yang pahit dengan wajah manis. Menegur dengan senyum. Mengkritik sambil merangkul. Maka tidak aneh, Muhammadiyah tetap rukun dalam masa-masa sulit: era Orde Baru, tekanan ideologis, bahkan saat perbedaan di dalam tubuh umat Islam sendiri mulai mengeras.

Pemimpin yang Tidak Lapar Kuasa

Pak AR memimpin Muhammadiyah dari tahun 1968 hingga 1990. Ia terpilih berkali-kali dalam Muktamar: dari Makassar sampai Surakarta. Tapi ketika usianya kian lanjut, ia menolak dipilih kembali. “Cukup,” katanya. “Saatnya generasi baru tampil.” Dalam organisasi yang sering didera ego kepemimpinan, langkah Pak AR adalah pelajaran penting: bahwa tak ada kursi yang abadi.

Setelah turun dari kursi Ketua Pimpinan Pusat, ia tetap aktif berdakwah. Naik bus, mengisi pengajian, mengunjungi cabang-cabang. Bahkan dalam sakitnya, ketika vertigo mulai sering menyerangnya, ia tetap menerima tamu dengan senyum yang sama. Ia wafat pada 17 Maret 1995, di Rumah Sakit Islam Jakarta, dalam usia 79 tahun. Dunia Islam kehilangan sejuk yang menenangkan.

Warisan yang Lebih dari Jabatan

Pak AR bukan tokoh yang suka tampil. Tapi warisannya bukan hanya kepemimpinan panjang. Ia adalah penulis yang produktif. Buku-bukunya bertebaran: dari tuntunan shalat sampai refleksi Muhammadiyah sebagai gerakan amal dan dakwah. Tulisannya sederhana, tapi jujur. Ringan dibaca, tapi berat makna. Seperti pribadinya: tidak mencolok, tapi abadi dalam ingatan.

Kita hidup dalam zaman yang gaduh. Di mana kata-kata lebih sering melukai daripada menenangkan. Di mana dakwah kadang menjadi alat perang, bukan jembatan kasih. Dalam suasana seperti ini, kita merindukan sosok seperti Pak AR: yang mengajarkan bahwa Islam adalah rahmat, bahwa memimpin berarti merangkul, bukan menunjuk.

Seorang pengurus Muhammadiyah pernah berkata, “Pak AR itu seperti air. Ia mengalir, meresap, dan menghidupkan.”

Dan kita semua pernah merasakan kesejukannya.

Rezeki yang Menolak Semua Doa

MANUSIA modern begitu peduli pada standar halal dalam makanan dan minuman, namun sering lalai menimbang dari mana uangnya berasal....
spot_img
spot_img

More Articles Like This