MANUSIA modern begitu peduli pada standar halal dalam makanan dan minuman, namun sering lalai menimbang dari mana uangnya berasal. Padahal, sejatinya halal bukan hanya soal apa yang masuk ke perut, tapi dari mana ia diperoleh. Jika sumbernya haram, maka seluruh hidup bisa ternoda, bahkan doa-doa pun bisa tertolak karenanya.
Di zaman ini, manusia menghadapi tantangan paling halus namun paling mematikan: penghasilan yang tampak sah di permukaan, namun mengandung kecurangan, penipuan, riba, suap, atau eksploitasi. Banyak yang begitu khusyuk memilah makanan memastikan tidak mengandung babi atau alkohol tapi tidak merasa berdosa menerima gaji dari kecurangan tender, hasil manipulasi data, atau pungli yang dilegalkan dengan dalih “budaya.”
Padahal Rasulullah ﷺ telah mengingatkan dengan tegas:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ، أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ
“Akan datang suatu masa di mana manusia tidak lagi peduli dari mana ia mendapatkan harta, apakah dari yang halal atau dari yang haram.” (HR. Bukhari)
Nabi ﷺ menyampaikan ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi sebagai peringatan yang tajam agar kita mewaspadai zaman penuh fitnah. Sebab rezeki yang haram bukan hanya membusukkan keberkahan harta, tapi juga merusak ruhani, mengeraskan hati, dan menjauhkan diri dari Allah ﷻ.
Allah berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلرُّسُلُ كُلُوا۟ مِنَ ٱلطَّيِّبَـٰتِ وَٱعْمَلُوا۟ صَـٰلِحًا ۖ إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Wahai para rasul! Makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51)
Perintah ini tidak hanya ditujukan kepada para nabi, tetapi juga berlaku pada seluruh umat Muhammad ﷺ, bahwa apa yang dimakan dan diminum harus berasal dari yang baik dan halal. Sebab tubuh yang tumbuh dari barang haram akan sulit tunduk dalam ibadah. Lidahnya berat menyebut asma Allah. Kakinya malas melangkah ke masjid. Hatinya keras terhadap ayat dan hadis.
Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ، فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Setiap daging yang tumbuh dari (makanan) haram, maka neraka lebih berhak atasnya.” (HR. At-Tirmidzi)
Mengerikan. Sebab bukan hanya dirinya yang terkena dampaknya, tetapi juga anak istri, keturunan, bahkan generasi penerus. Harta haram yang disuapkan ke anak akan menjadikan mereka sulit menerima nasihat, sulit merasakan kelezatan iman, dan mudah tergelincir dalam dosa yang sama atau lebih parah.
Maka benarlah doa yang kita panjatkan dalam keresahan ini:
“Ya Allah, jagalah kami dan anak keturunan kami dari harta yang haram dan syubhat.” Karena penghasilan haram bukan hanya dosa personal, tetapi bisa menjadi sumber kerusakan kolektif.
Allah berfirman:
وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةًۭ ضِعَـٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًۭا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (nasib) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa: 9)
Ayat ini menegaskan bahwa takwa kita hari ini akan menentukan arah hidup anak-anak kita di masa depan. Jika kita memberi mereka makanan dan pendidikan dari hasil yang halal, kita sedang membangun generasi yang kuat dan berintegritas. Sebaliknya, jika kita menyuapi mereka dari uang yang haram, kita sedang menciptakan generasi yang kehilangan arah dan nilai moral.
Kita mungkin bisa menyekolahkan anak di tempat terbaik, membelikan segala fasilitas, dan menyekat mereka dari segala marabahaya fisik. Tapi jika sumber nafkahnya haram, semua itu bisa menjadi istidraj kenikmatan yang menjerumuskan, bukan karunia yang menyelamatkan.
Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita sebuah doa yang begitu dalam:
اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal agar terhindar dari yang haram, dan kayakanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi)
Doa ini adalah permohonan sekaligus prinsip hidup. Kita diajarkan untuk tidak hanya takut pada label haram dalam makanan, tapi juga lebih takut pada asal penghasilannya. Kita diminta menggantungkan kecukupan bukan pada jalan yang curang, tapi pada kemurahan Allah yang luas.
Berapa banyak kita merasa gelisah ketika mengetahui mie instan mengandung babi, namun merasa biasa saja menggaji karyawan di bawah UMR, atau mengambil fee dari proyek yang tak dijalankan secara jujur?
Ini adalah penyakit zaman. Penyakit yang bisa menimpa siapa saja baik yang berdasi maupun yang berpeci. Maka kita perlu membangun benteng kesadaran dari dalam: bahwa halal itu bukan hanya soal produk, tapi juga proses. Bukan hanya soal “apa yang dimakan,” tapi juga “bagaimana mendapatkannya.”
Mendidik anak tentang halal-haram bukan cukup dengan mengatakan “jangan makan ini dan itu,” tapi dengan memperlihatkan bahwa ayah dan ibu mencari nafkah dari jalan yang bersih. Sebab keteladanan jauh lebih tajam dari sekadar kata-kata.
Ingatlah, kelak di hari hisab, Allah tidak bertanya seberapa besar penghasilan kita, tapi dari mana ia diperoleh dan untuk apa ia digunakan.
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ… وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ
“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya… tentang hartanya: dari mana ia mendapatkannya dan untuk apa ia membelanjakannya.” (HR. Tirmidzi)
Maka bertakwalah. Jangan biarkan anak-anak kita tumbuh dengan darah dari harta haram. Jangan biarkan doa-doa kita tertolak hanya karena uang yang kita gunakan untuk membeli sajadah adalah hasil dari mencurangi orang lain. Jangan biarkan rumah tangga kita tampak mewah di luar, tapi remuk redam oleh kutukan harta yang tidak halal.
Semoga Allah menjaga kita, menjaga keluarga kita, dan menjaga keturunan kita. Dan semoga Dia karuniakan kepada kita rezeki yang halal, thayyib, dan penuh keberkahan meskipun sedikit karena yang sedikit namun bersih, lebih mulia di sisi-Nya daripada yang melimpah tapi menjerumuskan. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin. (*)