JAKARTAMU.COM | Makkah telah lama ditinggalkan. Ihram dilipat, koper dibongkar, dan bandara-bandara kembali padat seperti biasa. Tapi benarkah haji telah usai?
Di tanah air, wajah-wajah bercahaya itu menyambut peluk cium sanak keluarga. Kalung bunga, iringan rebana, dan spanduk bertuliskan “Selamat Datang Haji Mabrur” membanjiri gang-gang sempit hingga pelataran masjid. Tapi di balik euforia sambutan, pertanyaan sunyi menggema di dalam dada: bagaimana menjaga haji agar tetap hidup dalam keseharian?
Artikel itu bukan sekadar nasihat, melainkan teguran lembut tapi keras: jangan biarkan keshalihan berakhir di bandara. Jangan biarkan miqat spiritual berakhir di ruang tunggu terminal. “Sesungguhnya mengambil dari dunia sekadar batas kebutuhan tidak akan mempengaruhi keikhlasan,” demikian Div. Ilmiyah Dar Al Qasim dalam kitab madha baed alhaj.
Kalimat itu menjadi tafsir kontemporer dari ayat Al-Baqarah 198 yang melegalkan perdagangan di musim haji. “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia dari Rabbmu,” begitu bunyinya. Tapi karunia itu tak hanya berupa dirham dan dinar. Ia bisa berupa keteguhan iman, dan istiqamah dalam ibadah.
Imam al-Qurthubi telah menyimpulkan sejak lama: “Berbisnis saat berhaji tidak merusak keikhlasan.” Tapi yang lebih sulit dari itu adalah berbisnis setelah haji tanpa mencemari hati yang pernah bersimpuh di Arafah.
“Janganlah seseorang pergi sehingga mengakhiri ibadahnya di Baitullah,” sabda Nabi dalam hadis riwayat Muslim. Dan itulah esensi thawaf wada’, meninggalkan Baitullah dengan air mata, bukan selfie. Tapi apakah thawaf perpisahan juga menjadi titik perpisahan dengan amal saleh?
Al-Hasan al-Bashri, ulama yang terkenal zuhud itu, menjawab dengan tajam: “Haji mabrur adalah mereka yang pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia, dan mencintai akhirat.”
Ini bukan perkara romansa spiritual, tapi perubahan perilaku. Dalam satu hadis Rasulullah berkata, “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling kontinu, meskipun sedikit.” Maka, apakah puasa Senin-Kamis, sedekah mingguan, atau tahajjud sebulan sekali menjadi warisan nyata dari haji kita?
Sesungguhnya, godaan terbesar setelah haji bukan lagi lempar jumrah, tapi lempar prinsip. Setan di tanah air tidak berwujud batu, tapi bisa berupa kontrak kerja haram, tumpukan utang riba, atau caci maki di media sosial. Dalam salah satu kutipan Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang getir, disebutkan: “Mereka sabar dalam mengikuti hawa nafsu, tapi tak sabar untuk beribadah kepada Tuhan mereka.”
Inilah post-hajj syndrome yang jarang dibahas dalam khotbah. Suatu masa ketika orang lupa bahwa mereka pernah menangis di Arafah, bermalam di Muzdalifah, dan berdoa dalam heningnya Kakbah. “Apakah ketaatan akan menjadi terhenti saat Anda pulang?”
Dan kita tahu jawabannya: sering kali, ya.
Al-Qur’an dalam surah Ar-Ra’d ayat 22-24 menjanjikan surga bagi mereka yang “menolak kejahatan dengan kebaikan” dan “menafkahkan rezeki secara sembunyi dan terang-terangan.” Malaikat akan menyapa mereka dengan ucapan: “Salamun ‘alaikum bima shabartum.”
Tapi sabar itu bukan hanya di padang Arafah. Sabar adalah ketika sebulan setelah pulang haji, Anda menahan diri untuk tidak mengambil proyek yang berbau suap. Sabar adalah ketika Anda melawan keinginan untuk memaki supir yang memotong jalan. Sabar adalah ketika Anda memilih salat jamaah di masjid daripada nonton konser malam minggu.
Tsumamah bin Bajad as-Sulami, sahabat Nabi yang namanya jarang terdengar, pernah berkata kepada kaumnya: “Wahai kaumku, aku memperingatkan kalian dari berkata: saya akan salat, saya akan puasa…” Karena agama bukan tentang rencana, tapi tentang gerakan.
Dan barangkali, dari jutaan jamaah haji yang pulang setiap tahun, hanya segelintir yang benar-benar kembali ke rumah dengan membawa haji yang hidup—yang menular pada anak-anak mereka, mewujud dalam etos kerja mereka, dan menyatu dalam cara mereka memuliakan sesama manusia.
Sebagian sisanya, mungkin hanya membawa koper-koper penuh air zamzam, kurma, dan tasbih plastik.