JAKARTAMU.COM | Di suatu pagi yang muram pada awal kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq, kabar mengejutkan datang dari jazirah: kabilah-kabilah Arab mulai mengingkari baiatnya kepada Madinah. Sebagian mengaku menerima kenabian baru. Sebagian lain menolak membayar zakat. Mereka tidak memerangi Islam secara frontal. Tapi mereka mencabut akarnya, mencabik fondasi keimanan yang baru seumur jagung itu.
Para sahabat menyebutnya dengan satu kata yang penuh beban: riddah, kemurtadan.
Tujuh belas abad kemudian, kata itu muncul kembali, dengan gaung yang berbeda. Di ruang-ruang akademik dan forum internasional, ia dibahas dengan nada liberal. Di dalam komunitas Islam sendiri, ia sering menjadi titik sengketa. Tapi di banyak tempat, kemurtadan berlangsung dengan sunyi, tanpa perlawanan, bahkan tanpa pengakuan.
Dari Colorado hingga Iraq
Serangan terhadap aqidah umat, sebagaimana diuraikan oleh Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tidak selalu datang dalam bentuk senjata. Ia datang dalam bentuk kata, siasat, dan kadang-kadang: lembaga.
Muktamar Colorado tahun 1978 menjadi titik temu para misionaris Kristen dari seluruh dunia. Mereka menyusun agenda besar—sekitar empat puluh isu—untuk mendakwahkan Kristen ke tengah-tengah dunia Islam. Dana yang digelontorkan bukan main: satu miliar dolar AS. Mereka menyasar kaum Muslimin di wilayah minoritas, dan membentuk lembaga seperti “Zwemmer” untuk mencetak para pakar misionaris Islam.
Di sisi lain, komunisme, pada masa puncaknya, menyapu dunia Islam dari Asia Tengah, Balkan, hingga Afrika. Mereka tidak sekadar membawa paham, tapi ingin menghapus Islam dari akar-akarnya. Generasi baru dididik tanpa pengetahuan agama. Di Afghanistan, masjid dihancurkan, para ulama dibunuh atau dipenjara.
Kemurtadan bukan semata keputusan pribadi, kata Qardhawi, tapi bagian dari rekayasa sosial besar-besaran yang menyasar kolektivitas. “Mereka ingin menghilangkan ajaran Islam yang sebenarnya, kemudian menggantinya dengan Islam penuh khurafat,” tulisnya.
Dilema Pedang dan Pena
Masalahnya, bagaimana merespons ini?
Abu Bakar memutuskan mengangkat pedang. Ia mengirim pasukan untuk memerangi para nabi palsu dan para pengingkar zakat. “Demi Allah, jika mereka menolak zakat seekor anak kambing pun yang dahulu mereka serahkan kepada Nabi, niscaya aku akan memerangi mereka,” katanya.
Tapi apakah jawaban masa kini akan serupa?
Dalam sejarah Islam klasik, hampir semua mazhab fikih sepakat bahwa murtad, meninggalkan Islam secara terang-terangan, mendapat hukuman berat. Sebagian besar ulama menetapkan: hukuman mati. Hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas tegas menyebut: “Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.”
Namun, sejarah juga mencatat keraguan dan kelonggaran. Umar bin Khattab, sang Khalifah Kedua, pernah memerintahkan agar orang murtad yang tertangkap ditawari Islam kembali. Jika menolak, cukup dipenjara. Bukan langsung dibunuh. Ulama seperti Ats-Tsauri dan Ibrahim an-Nakha’i mengikuti pendekatan ini.
Ibnu Taimiyah membedakan antara murtad yang sekadar keyakinan pribadi dengan yang disertai hasutan dan makar. Jika seseorang sekadar meninggalkan Islam dalam hati, tanpa memusuhi atau merusak tatanan sosial, maka ia bisa dimaafkan setelah bertobat. Tapi jika murtad itu digunakan untuk menyerang agama dan menebar kebencian, maka ia termasuk “muharib”, orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya.
Yang menarik, kata Qardhawi, pena lebih tajam daripada pedang. Seperti Salman Rushdie. Atau penulis-penulis yang menggugat Al-Qur’an dan mencerca Nabi, bukan hanya keluar dari Islam, tapi juga menyebar kebenciannya dalam bentuk buku, pamflet, atau opini.
“Peperangan dengan lisan dalam masalah agama,” tulis Ibnu Taimiyah dalam Ash-Sharim al-Maslul, “kadang lebih kejam daripada peperangan dengan tangan.”
Kemurtadan Tak Lagi Tunggal
Hari ini, murtad tak selalu berarti masuk agama lain. Ia bisa berarti menanggalkan Islam secara perlahan. Menganggapnya warisan budaya, bukan keyakinan. Atau menolak syariat dengan alasan “belum cocok dengan zaman.”
Sosiolog kontemporer menyebutnya “deconversion“, pelepasan diri dari iman. Kadang karena trauma. Kadang karena keresahan terhadap representasi Islam. Tapi yang pasti, ia tak selalu tampak. Dan tak selalu diakui.
Kondisi ini membuat banyak negara mayoritas Muslim gentar. Beberapa memilih kompromi: cukup dicatat, tapi tak diberi sanksi. Sebagian masih menetapkan hukum berat dalam undang-undang, tapi enggan menegakkannya karena tekanan HAM internasional.
Umat pun terpecah: antara mereka yang ingin menghukum, dan mereka yang ingin merangkul.
Mencari Abu Bakar Baru
Ungkapan “kemurtadan tanpa Abu Bakar” sering terdengar di kalangan ulama. Tapi tak selalu dalam nada merindukan pedang. Terkadang dalam nada mengeluh: bahwa tak ada pemimpin yang berani menegakkan batas, sekaligus menjaga keadilan dan kasih sayang.
Zaman ini memang bukan zaman Abu Bakar. Tapi persoalannya tetap sama: bagaimana menjaga umat dari kehancuran iman—baik yang disebabkan oleh musuh luar, maupun oleh kelemahan dari dalam.
Qardhawi menulis, “Kita harus memberantas kemurtadan secara individu dan membatasinya, sehingga tidak menjalar menjadi kemurtadan kolektif yang terstruktur.”
Itu tugas umat. Tapi juga tugas negara. Dan tugas ulama.
Bukan hanya dengan pedang. Tapi dengan ilmu. Dengan keteladanan. Dan dengan cinta.
Setiap zaman punya tantangannya sendiri. Tapi sejarah selalu meninggalkan isyarat. Bahwa kemurtadan bukan sekadar soal keluar dari agama, melainkan gejala retaknya bangunan iman umat. Dan membangun kembali iman itu, barangkali adalah jihad paling panjang yang belum selesai hingga kini.