SETIAP perbuatan baik yang kita lakukan kepada orang lain, apalagi kepada mereka yang tak memiliki kuasa membalas, sejatinya adalah cermin dari keimanan yang bersih. Ia lahir dari hati yang terhubung pada Allah, bukan dari keinginan akan pujian atau imbalan. Di sanalah letak karakter sejati seorang mukmin.
Dalam hidup yang penuh interaksi sosial, kita seringkali diuji bukan oleh mereka yang berkuasa atau bisa membalas kebaikan, tetapi justru oleh mereka yang lemah, yang miskin, yang bahkan tidak bisa mengucapkan terima kasih. Di hadapan orang-orang inilah, nilai ketulusan kita diuji.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى»
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Saat seseorang menolong hanya karena Allah, bukan karena ingin dikenang atau dibalas, maka di situlah dia tengah melatih jiwanya menuju ikhlas yang murni. Dan hanya amal yang dilakukan karena Allah yang akan mendapat tempat di sisi-Nya.
Allah ﷻ berfirman:
﴿وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَآءً وَلَا شُكُورًا﴾
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian hanyalah karena mengharap wajah Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan: 8-9)
Ayat ini menggambarkan sifat orang beriman yang memberi bukan karena ingin balasan duniawi, tetapi karena rindu wajah Allah. Bahkan mereka tidak mengharapkan ucapan terima kasih. Ini adalah maqam tertinggi dari akhlak ihsan berbuat seolah melihat Allah, meskipun tidak bisa melihat-Nya, tetapi yakin bahwa Allah melihat mereka.
Rasulullah ﷺ juga mengajarkan pentingnya berbuat baik kepada yang lemah, kepada yang tidak mampu membalas. Beliau bersabda:
«هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ»
“Bukankah kalian ditolong dan diberi rezeki justru karena orang-orang lemah di antara kalian?” (HR. Bukhari)
Lihat bagaimana Allah justru menjadikan keberadaan orang-orang yang tidak berdaya sebagai sebab turunnya rahmat dan pertolongan-Nya. Maka, jika ada orang lemah di sekitar kita, jangan pernah merasa terganggu oleh keberadaan mereka. Justru mereka adalah ujian dan peluang bagi kita untuk mendapat cinta Allah.
Sebaliknya, ketika seseorang menolak memberi karena merasa tak akan untung atau tak akan dihargai, di situlah hatinya mulai tertutup oleh dunia. Ia hanya ingin transaksi, bukan amal. Ia hanya ingin balasan yang terlihat, bukan ganjaran dari langit.
Allah ﷻ berfirman:
﴿مَن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَـٰعِفَهُۥ لَهُۥ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَٱللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴾
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki), dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Setiap kali kita memberi dengan tulus, sesungguhnya kita tengah ‘meminjamkan’ kepada Allah. Dan Allah, Zat Yang Maha Kaya, tidak akan membiarkan pinjaman itu kembali tanpa balasan. Balasannya bisa berupa rezeki, ketenangan, atau ampunan di hari akhir.
Ketika engkau menolong seorang ibu yang membawa anak di pasar, ketika engkau memberi makan pada kucing yang kelaparan, ketika engkau menyisihkan sedekah untuk yatim yang tak dikenal, jangan risau bila mereka tak membalas. Justru di situlah letak kemuliaan amalmu. Tak semua kebaikan perlu diketahui, dan tak semua amal harus dilihat manusia. Biarkan saja langit yang mencatatnya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ ٱللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ… وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا، حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ»
“Tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari di mana tidak ada naungan selain naungan-Nya… salah satunya adalah seseorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah derajat amal yang tinggi berbuat dalam sunyi, memberi dalam sepi, tanpa pamrih, tanpa sorotan kamera, hanya antara hamba dan Tuhannya.
Jadi, saat engkau bertemu seseorang yang tidak bisa membalas kebaikanmu seorang tukang sapu, seorang pemulung, seorang janda tua di pinggir jalan jangan angkuh merasa lebih tinggi. Karena bisa jadi, merekalah jalanmu menuju surga. Dan di hadapan Allah kelak, bisa jadi nama mereka lebih harum dari namamu.
Semoga hati kita dimampukan untuk terus berbuat baik, tidak peduli siapa yang dihadapi. Semoga setiap amal lahir dari cinta kepada Allah, bukan cinta pada balasan manusia. Dan semoga kelak, kita dikumpulkan bersama orang-orang yang memberi tanpa berharap, mencintai tanpa syarat, dan menolong karena iman.
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الْمُحْسِنِينَ، وَارْزُقْنَا الإِخْلاَصَ فِي كُلِّ عَمَلٍ، وَارْفَعْ دَرَجَاتِنَا بِالرَّحْمَةِ وَالْخَيْرِ، وَاجْعَلْ خَيْرَ أَعْمَالِنَا خَوَاتِيمَهَا، آمِينَ.
“Ya Allah, jadikan kami termasuk orang-orang yang berbuat ihsan, anugerahi kami keikhlasan dalam setiap amal, angkat derajat kami dengan rahmat dan kebaikan-Mu, dan jadikan akhir amal kami sebagai penutup yang terbaik, Aamiin.” (*)