Minggu, Juni 1, 2025
No menu items!
spot_img

Menjenguk Non-Muslim yang Sakit Menurut Ajaran Islam

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Dijadikannya menjenguk orang sakit sebagai hak seorang muslim terhadap muslim lainnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis, tidak berarti bahwa orang sakit yang non-Muslim tidak boleh dijenguk. Sebab, menjenguk orang sakit, apa pun jenis kelaminnya, warna kulitnya, agamanya, atau kebangsaannya, adalah amal kemanusiaan yang dalam Islam dinilai sebagai ibadah dan qurbah (pendekatan diri kepada Allah).

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Nabi saw. menjenguk seorang anak Yahudi yang biasa melayani beliau ketika anak itu sakit. Maka, Nabi saw. menjenguknya dan menawarkan Islam kepadanya. Anak itu kemudian memandang ayahnya, dan sang ayah memberi isyarat agar dia mengikuti Abul Qasim (Nabi Muhammad saw.), lalu anak tersebut pun masuk Islam sebelum meninggal dunia. Setelah itu, Nabi saw. bersabda:

“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka melalui aku.” (HR. Bukhari)

Hal ini semakin dikuatkan apabila orang non-Muslim tersebut memiliki hubungan tertentu dengan seorang muslim, seperti sebagai tetangga, teman, kerabat, semenda, dan lain sebagainya.

Hadis-hadis yang disebutkan sebelumnya hanya memperkuat hak sesama muslim (bukan membatasi), karena adanya hak-hak yang diwajibkan oleh ikatan keagamaan. Apabila seorang muslim adalah tetangganya, maka ia memiliki dua hak: hak sebagai sesama muslim dan hak sebagai tetangga. Jika orang tersebut juga kerabat, maka ia memiliki tiga hak: hak sebagai sesama muslim, hak sebagai tetangga, dan hak sebagai kerabat. Demikian seterusnya.

Imam Bukhari membuat satu bab tersendiri mengenai “Menjenguk Orang Musyrik”, dan dalam bab itu beliau mencantumkan hadis Anas mengenai anak Yahudi yang dijenguk oleh Nabi saw. dan kemudian diajak masuk Islam, lalu anak itu menerima ajakan tersebut, sebagaimana telah dinukil sebelumnya.

Beliau juga menyebutkan hadis Sa‘id bin al-Musayyab dari ayahnya, bahwa ketika Abu Thalib akan meninggal dunia, Nabi saw. datang menemuinya.

Diriwayatkan juga dalam Fath al-Bārī dari Ibnu Baththal bahwa menjenguk orang non-Muslim itu disyariatkan apabila ada harapan dia akan masuk Islam. Namun, jika tidak ada harapan ke arah itu, maka tidak disyariatkan.

Al-Hafizh berkata, “Tampaknya hukum ini berbeda-beda tergantung pada tujuannya. Kadang-kadang menjenguknya dilakukan demi kemaslahatan lain.”

Al-Māwardī berkata, “Menjenguk orang dzimmi (non-Muslim yang tunduk pada pemerintahan Islam) itu diperbolehkan, dan nilai qurbah (pendekatan diri kepada Allah) tergantung pada bentuk penghormatan yang diberikan, apakah karena statusnya sebagai tetangga atau karena hubungan kekerabatan.”

Skandal Chromebook Rp9,9 Triliun bukan Sekadar Korupsi

JAKARTAMU.COM | Digitalisasi pendidikan digadang-gadang sebagai jalan pintas Indonesia menuju era baru pembelajaran. Tapi jalan itu kini berubah menjadi...
spot_img
spot_img

More Articles Like This