JAKARTAMU.COM| Di tengah silang-sengkarut perdebatan tentang cara berpakaian dan batas aurat, Al-Qur’an justru menyodorkan narasi yang sunyi namun tajam: kisah jatuhnya Adam dan Hawa dari surga. Bukan semata-mata cerita asal-usul manusia, tetapi potret jernih tentang naluri terdalam manusia—fitrah.
Dalam surat Al-A’raf ayat 20 hingga 27, terselip pelajaran yang nyaris terlupakan: bahwa menutup aurat bukan sekadar kewajiban syariat, melainkan dorongan kodrati. Ketika setan membujuk Adam dan Hawa untuk memakan buah terlarang, dampaknya tidak hanya spiritual, tapi juga visual. Yang semula tertutup menjadi tampak.
“Aurat mereka terbuka. Mereka pun kalut, mencari daun-daun surga untuk menutupnya,” tulis Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Wawasan Al-Quran”.
Penting dicatat, kata kerja yang digunakan bukan sekadar “mengambil” daun, melainkan yakhshifan, menempelkan berlapis-lapis. Ini bukan selembar daun yang disampirkan ala kadarnya. Ini adalah perakitan darurat, spontan, tapi sarat kesadaran. Adam dan Hawa sedang menyusun pakaian. Karena naluri manusia memang tidak tahan terhadap keterbukaan aurat. Ia butuh ditutup. Dan kebutuhan itu mendahului hukum, ia bagian dari fitrah.
Tak heran, para mufasir menafsirkan peristiwa ini bukan hanya sebagai awal mula dosa manusia, tapi juga awal mula kesadaran akan pakaian. Bahkan lebih jauh, pakaian sebagai manifestasi akhlak. Bukan saja fungsi sosial atau estetika, tetapi ekspresi terdalam dari harkat kemanusiaan.
Quraish menjelaskan empat kali dalam Al-Qur’an Allah memanggil kita dengan sapaan yang khas dan intim: *Ya Bani Adam, wahai anak keturunan Adam. Empat kali, dan semuanya dalam surat Al-A’raf. Empat seruan itu tak lain adalah pengingat: bahwa kita adalah bagian dari sejarah spiritual yang panjang dan bahwa pakaian bukan hanya kebutuhan duniawi, tetapi tanda kesadaran yang membedakan manusia dari makhluk lain.
Dalam ayat 26, Allah menyebut anugerah pakaian sebagai pelindung dan penghias. Ayat 27, sebagai peringatan agar tidak tertipu seperti leluhur kita di surga. Ayat 31, perintah berpakaian indah saat memasuki masjid. Dan ayat 35, tentang ketaatan kepada para rasul yang tentu termasuk tuntunan dalam berpakaian.
Narasi ini kian menguat dalam surat Thaha. Ketika Adam diusir dari surga, yang disebut pertama bukanlah kesakitan atau penderitaan batin, melainkan kebutuhan akan tiga hal dasar: sandang, pangan, dan papan. Sandang disebut pertama. Sebuah simbol bahwa berpakaian adalah kebutuhan primer, bahkan spiritual.
Kini, ketika isu aurat sering direduksi menjadi soal norma sosial atau mode, kisah Adam dan Hawa menghadirkan kembali esensi: bahwa menutup aurat adalah bagian dari fitrah manusia. Ia bukan hasil tekanan budaya atau konstruksi patriarki belaka, melainkan dorongan batiniah yang muncul begitu kesadaran hadir.
Seperti manusia purba yang, dalam segala keterbatasannya, tetap mencari cara untuk menutupi tubuh. Karena dalam setiap manusia, entah modern atau primitif, tersimpan naluri yang sama: bahwa aurat harus ditutup. Tidak karena malu, tapi karena sadar. Sadar bahwa tubuh bukan sekadar materi, tapi kehormatan.
Fitrah, kata para ulama, tidak membutuhkan banyak argumen. Ia hidup dalam kesadaran yang hening dan kadang hanya perlu diingatkan kembali.