Jumat, Juni 13, 2025
No menu items!

Tuhan dalam Cermin Kepercayaan: Narasi Pemahaman, Misteri, dan Batas Pengetahuan

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Suatu sore di penghujung 1970-an, lantai kantor Direktorat Urusan Agama Hindu dan Buddha di Jl. M.H. Thamrin dipenuhi kesunyian birokratik. Di sanalah, dua orang muda—salah satunya mahasiswa yang tengah menulis skripsi tentang monoteisme dalam agama-agama besar—beradu argumen tentang hal paling purba dan paling pelik dalam sejarah pemikiran manusia: Tuhan.

Diskusi yang sekilas itu berakhir dengan keheningan. Mahasiswa itu, yang mengawali debat dengan menyebut bahwa Buddhisme “miskin konsep Tuhan”, justru terkena pukulan balik dari lawan bicaranya, seorang pegawai Buddhis yang kritis.

Kritik itu tajam: “Orang-orang Muslim membuat Tuhan menjadi ide yang bisa dipahami, diberi nama, dan diikat oleh bahasa.” Dengan kata lain, Tuhan telah dipersonifikasikan dalam bentuk konsep yang, justru karena itu, kehilangan ke-Tuhan-annya.

Mereka Bicara Tuhan, Tapi Siapa yang Dimaksud?

“Diskusi itu bukan sekadar polemik pinggiran,” ujar Kautsar Azhari Noer, dalam Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA. “Ia menggugat pusat pemahaman manusia tentang Tuhan.”

Dalam Islam, Tuhan dikenal melalui 99 nama dan 20 sifat wajib. Ia Maha Pengasih, Maha Mengetahui, Maha Kuasa. Tapi dalam perspektif pegawai Buddhis itu, semua ini hanyalah upaya manusia untuk memadatkan misteri ke dalam kalimat.

Di sini masuk Ibn al-‘Arabi, sufi besar dari Andalusia, dengan gagasan “Tuhan kepercayaan” (al-ilah al-mu‘taqad)—suatu konstruksi intelektual dan spiritual manusia terhadap Tuhan yang sesungguhnya tak terjangkau. Apa yang diyakini, kata Ibn al-‘Arabi, hanyalah persepsi manusia atas Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. “Warna air adalah warna bejana yang menampungnya,” begitu petuah dari al-Junayd yang dikutipnya.

Dengan tegas, Ibn al-‘Arabi menyebut: Tuhan yang diyakini manusia adalah hasil keterbatasan pemahaman mereka. Maka setiap pujian terhadap Tuhan yang diyakini, sejatinya adalah pujian terhadap diri sendiri.

Yang Menyalahkan, Tak Sadar Memuji Dirinya Sendiri

Pemeluk agama—termasuk di dalam Islam sendiri—kerap jatuh dalam perangkap absolutisme keimanan. Mereka memutlakkan Tuhan dalam versi keyakinannya, lalu menyalahkan versi lainnya. Bagi Ibn al-‘Arabi, ini bukan sekadar keliru; ini adalah pengingkaran terhadap kenyataan bahwa setiap persepsi tentang Tuhan adalah subjektif. Bahwa tidak seorang pun dapat melampaui keterbatasan dirinya dalam memahami Tuhan.

Tuhan yang benar—al-ilah al-haqq, the Real God—adalah misteri mutlak. Dia tidak bisa dikatakan “begini” atau “begitu”, karena penyifatan adalah bentuk pembatasan. Dalam pandangan Ibn al-‘Arabi, sebagaimana pula dalam mistisisme Yahudi, bahkan menyebut bahwa “Tuhan ada” pun adalah bentuk penyempitan realitas ketakterbatasan-Nya.

Di sinilah Ibn al-‘Arabi menyerang titik terlemah banyak teolog: yaitu ketika mereka mengira telah memahami Tuhan hanya karena mampu menyebut nama-Nya.

Dalam sebuah hadits qudsi yang sering dikutip para sufi, Tuhan berkata, “Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku.” Kata kunci di sini adalah sangkaan, bukan pengetahuan. Tuhan tidak diketahui, Ia hanya disangka. Lalu, bagaimana manusia menjalin hubungan dengan sesuatu yang tidak dikenalnya?

Di situlah masuk prinsip “sangkaan yang baik”. Sangkaan itu, dalam kerendahan hati spiritual, bukan bentuk kecongkakan intelektual, melainkan jembatan kasih. Tuhan bisa diyakini sebagai Maha Pengasih, bukan karena itu adalah “fakta teologis” yang dapat dibuktikan, tapi karena cinta menuntut kepercayaan, bukan pengertian.

Tuhan Langit, Tuhan Lelaki, Tuhan Simbolik

Ibn al-‘Arabi dengan jeli mengaitkan simbol-simbol teistik dengan kultur dan konstruksi sosial. Di masyarakat pastoral patriarkal, Tuhan disimbolkan sebagai Bapa Langit. Di masyarakat agrikultural matriarkal, Tuhan adalah Ibu Bumi. Maka Tuhan dalam Islam—juga dalam Yahudi dan Kristen—adalah maskulin: “Huwa”, bukan “Hiya”. Ia tinggal di langit, menurunkan wahyu dari atas, dan memerintah dari singgasana tinggi.

Simbol, kata Ibn al-‘Arabi, hanyalah penunjuk. Langit bukan Tuhan. Tapi dalam sejarah, simbol-simbol ini disakralkan, hingga manusia justru menyembah simbol, bukan yang ditunjuk oleh simbol itu.

Kritik terbesar Ibn al-‘Arabi justru tertuju kepada mereka yang merasa telah mengetahui Tuhan dan karenanya menolak bentuk lain dari keimanan. Baginya, semua bentuk iman mengandung fragmen penampakan (tajalli) Tuhan. Maka, menolak bentuk kepercayaan orang lain adalah bentuk keangkuhan. “Jika kamu mengikat dirimu kepada satu keyakinan dan mengingkari yang lain, engkau kehilangan kebenaran yang luas,” tulisnya.

Ayat Al-Qur’an berbunyi, “Ke mana pun kamu berpaling, di situlah wajah Allah” (Q.S. Al-Baqarah: 115). Ini bukan sekadar lirik puitik. Ia adalah peringatan bahwa kehadiran Tuhan melintasi batasan bentuk, nama, dan mazhab.

Misteri yang Tidak Bisa Ditembus

Jika Tuhan tidak dapat diketahui, adakah gunanya diskusi teologis yang tiada henti? Ibn al-‘Arabi menyarankan kerendahan hati epistemik. Bahkan Nabi Muhammad sendiri, dalam hadits yang masyhur, melarang umatnya berpikir tentang zat Allah: “Berpikirlah tentang ciptaan Allah, tapi jangan berpikir tentang zat-Nya.”

Demikian pula Tuhan dalam Alkitab. Ketika Musa bertanya tentang nama-Nya, Tuhan menjawab dalam misteri: Ehyeh asyer Ehyeh—“Aku adalah Aku.” Atau seperti dalam tafsir Kabbalah: Tuhan adalah Ayn, “Yang Tidak Ada”, atau lebih tepatnya, “Yang Tidak Dapat Dikatakan Ada atau Tidak Ada.”

Kita Hanya Punya Cermin

Pada akhirnya, setiap keyakinan tentang Tuhan adalah pantulan, cermin yang menangkap bias dari Yang Mutlak. Kita melihat Tuhan dalam bentuk yang bisa kita pahami: dalam bahasa kita, simbol kita, dan harapan kita.

Tuhan dalam agama-agama adalah “Tuhan kepercayaan”. Tapi di balik kepercayaan itu, ada Yang Nyata, Yang Tak Terjangkau, Yang Tak Terucapkan. Tuhan yang tidak dalam kalimat. Tuhan yang hanya bisa diresapi dalam diam.

Dan di antara diam dan kata, antara kepercayaan dan misteri, manusia terus mencari-Nya, meski mungkin tak pernah benar-benar menemukan.

Serangan Udara Israel Tewaskan Delapan Warga Palestina di Gaza

JAKARTAMU.COM | Serangan udara membabi buta Israel menewaskan delapan warga Palestina pada Kamis (12/5/2025) sore. Menurut sumber medis, sasaran...
spot_img
spot_img

More Articles Like This