TUJUH bulan lalu, Hernández, mantan guru dari Huelva, Spanyol selatan, memasang pelana pada kuda Arab betina dan meninggalkan rumahnya menuju Makkah. Bersama dua sahabat, Abdelkader Harkassi dan Tarek Rodríguez, mereka memulai perjalanan menunaikan ibadah haji layaknya para peziarah Andalusia zaman pertengahan: dengan menunggang kuda, menempuh ribuan kilometer melintasi Eropa, Balkan, dan Timur Tengah.
“Dulu saya bilang, kalau lulus ujian pegawai negeri, saya akan masuk Islam,” kata Hernández kepada Middle East Eye. “Dan setelah itu, saya janji akan ke Makkah naik kuda.”
Ia menepati dua-duanya. Tiga puluh lima tahun berselang, janji itu menjelma ekspedisi lintas benua. Dari Almonaster la Real—kota kecil dengan sisa-sisa masjid abad ke-10, mereka berangkat tanpa sponsor, tanpa pendanaan, hanya dengan lima ekor kuda Arab dan niat baja.
Perjalanan Zaman Lampau di Dunia Modern
Di Abad Pertengahan, para Muslim dari Andalusia menulis Rihla, catatan perjalanan spiritual menuju Makkah yang melampaui sekadar ziarah. Ia adalah perjumpaan budaya, pelajaran hidup, sekaligus penaklukan diri.
Ibn Jubayr adalah nama besar dari genre ini, yang mencatat perjalanannya antara 1183–1185. Kini, Hernández dan kawan-kawan menulis Rihla mereka sendiri, bukan dengan pena, tapi dengan jejak tapak kuda.
Perjalanan itu nyaris kandas bahkan sebelum menyeberang Spanyol. Dana habis, bensin untuk mobil pengiring pun tinggal sisa. Tapi sebuah momen kecil di desa Buñuel mengubah segalanya. Seorang anak menunjuk mobil mereka yang bertuliskan “Kami berhaji naik kuda.” Lalu, datanglah sumbangan dari para buruh migran Maroko, €1.200 dalam sekali Jumat.
“Itu mukjizat pertama,” kata Hernández.
Menantang Salju dan Sajadah
Melintasi Prancis dan Italia, mereka melawan dingin dan salju, terutama saat menyeberangi Pegunungan Alpen. Di sanalah Hernández mengaku nyaris menyerah. “Mobil bisa lewat terowongan. Tapi kuda tidak,” ujarnya. “Kami harus menuntun kuda menanjak, dalam badai.”
Di Verona, keberuntungan kembali berpihak. Mereka bertemu Abdelrahman al-Mutiri, influencer asal Saudi, yang menawarkan karavan sebagai dukungan. Ia juga membawa cerita mereka ke jagat maya, membetot perhatian ribuan pengikut Muslim dari berbagai negara.
Tapi bukan hanya Muslim yang tertarik. Di Slovenia, Kroasia, bahkan Prancis dan Italia, mereka disambut dengan rasa ingin tahu. “Mereka ingin tahu, siapa kami, dan mengapa Muslim dari Spanyol masih ada,” kata Harkassi.
Dikenal dan Dicintai di Tanah Islam
Di Bosnia, komunitas Muslim menyambut mereka seperti saudara lama yang pulang. Mereka diberi rumah, pakaian hangat, bahkan uang yang diselipkan dalam sepatu dan pelana. “Kami kumpulkan lebih dari €2.000 hanya dari rasa kasih sayang mereka,” kenang Hernández.
Mereka sempat harus menukar kuda karena aturan lintas negara. Tapi setelah masuk Turki, para kuda asli kembali menemani. Di sana, selama empat bulan mereka tak pernah lagi memasak. “Setiap hari kami dijamu. Polisi, warga, petani semua berbagi roti dan cinta,” katanya.
Lalu datanglah Syria. Negara yang baru saja menumbangkan rezim Bashar al-Assad. Dengan pengawalan Tentara Pembebasan, mereka menembus jalur berbahaya, melintasi ladang ranjau dan reruntuhan.
“Syria hancur, tapi hati rakyatnya utuh,” ujar Hernández. “Kami menangis karena sambutan mereka. Kami adalah perayaan di tengah reruntuhan.”
Akhir yang Pahit-Manis
Mereka akhirnya tiba di Arab Saudi. Tapi aturan haji membatasi peziarah berkuda, agar tak memancing gelombang massa tahun depan. “Bayangkan 50 ribu orang ke Makkah naik kuda,” Hernández tergelak.
Mereka setuju untuk melanjutkan perjalanan terakhir dengan bantuan pemerintah. Lalu, pada suatu malam di awal Juni, mereka tiba di Makkah: lelah, kotor, namun penuh syukur.
Namun ada satu kepedihan. Kuda-kuda mereka, yang telah menjadi sahabat dan penyelamat, harus tinggal di Saudi karena aturan karantina dan transportasi Eropa.
“Kuda-kuda itu adalah pahlawan sesungguhnya,” kata Hernández, suara lirih. “Kami hanya penumpang di punggung kesabaran mereka.”

Dalam tujuh bulan, mereka menembus delapan belas negara, menyalakan kembali jejak Andalusia yang hampir padam. Mereka bukan sekadar menunaikan haji, tapi juga memperlihatkan bahwa Islam masih hidup di Spanyol—sunyi, tapi kokoh.
“Kami ingin dunia tahu: Andalusia belum mati,” ujar Harkassi. “Kami adalah buktinya. Dan perjalanan ini, adalah doanya.”
Tiga penunggang kuda itu akan kembali ke Spanyol dengan pesawat setelah haji berakhir. Tapi kisah mereka—tentang janji, keyakinan, dan manusia-manusia baik yang mereka temui—telah menjelma rihla modern yang tak akan pudar.