Sabtu, Juni 28, 2025
No menu items!

Dari Karbala ke Gunung Judi: Dua Kesunyian yang Diingat Umat pada 10 Muharram

Must Read

JAKARTAMU.COM | Bagi sebagian Muslim, 10 Muharram adalah hari duka, mengenang gugurnya cucu Nabi di Karbala. Namun bagi sejarah yang lebih tua, tanggal itu adalah titik tolak. Di hari inilah, menurut banyak riwayat, bahtera Nabi Nuh berlabuh setelah badai besar memusnahkan umatnya yang ingkar. Ini menandai bukan hanya keselamatan, tapi awal baru bagi manusia.

Dalam Surat Hud ayat 44, Al-Qur’an menyebutkan secara tegas tempat berlabuh bahtera itu:

“Dan difirmankan: ‘Wahai bumi! Telanlah airmu. Wahai langit! Berhentilah (menurunkan hujan)!’ Maka surutlah air dan diselesaikan urusan (banjir itu), lalu kapal itu berlabuh di atas Gunung Judi, dan dikatakan, ‘Binasalah orang-orang yang zalim.’”

Tafsir Kementerian Agama RI menjelaskan bahwa Gunung Judi (atau Joudi, Judiy, dan bahkan Judd dalam transliterasi yang berbeda) dipercaya terletak di pegunungan Ararat, wilayah yang kini termasuk dalam teritori Turki. Sementara dalam Kejadian 8:4 pada Perjanjian Lama, disebutkan bahwa bahtera mendarat di “pegunungan Ararat”—sebuah sebutan geografis yang lebih umum dibandingkan lokasi spesifik seperti dalam Al-Qur’an.

Dr. Maurice Bucaille dalam Bibel, Quran dan Sains Modern menegaskan bahwa riwayat Qur’an tentang Gunung Judi lebih bersesuaian dengan data geografi dan arkeologi dibandingkan versi Bibel. Ia menulis bahwa “Gunung Joudi adalah puncak tertinggi dari gunung-gunung Ararat di Armenia.” Ia juga mengkritik narasi Bibel yang terlalu literal dan menyebutnya tidak konsisten dengan temuan ilmiah modern.

Namun orientalis Prancis R. Blachère bersikap lebih skeptis, menyebut bahwa bisa saja terdapat perubahan nama geografis untuk menyelaraskan narasi kitab suci. Ia mencatat banyak tempat di wilayah Arab yang dinamai “Joudi”, sehingga identifikasi menjadi sulit dan rawan spekulasi.

Air dari Langit dan Bumi

Nabi Nuh hidup dalam dunia yang telah penuh dengan kesyirikan dan kemaksiatan. Allah mengutusnya untuk mengajak kaumnya kembali ke jalan tauhid. Namun hanya segelintir yang mengikuti, sementara yang lain tenggelam dalam banjir besar yang, menurut Ibnu Katsir, terjadi setelah hujan turun 40 hari 40 malam dan air dari perut bumi memancar tanpa henti selama 150 hari.

Menariknya, dalam catatan klasik disebutkan air yang turun dari langit berwarna kuning, dan air dari dalam bumi berwarna merah. Detail ini—yang tak dijelaskan Al-Qur’an secara langsung—menjadi bagian dari khazanah Isra’iliyat (kisah-kisah Bani Israil) yang turut memberi warna dalam narasi para mufassir klasik.

Qatadah bin an-Numan meriwayatkan bahwa ketika bahtera mendarat pada 10 Muharram, Nuh berkata kepada pengikutnya, “Barang siapa telah berpuasa, sempurnakanlah puasanya. Dan barang siapa belum berpuasa, hendaklah berpuasa.” Momentum ini kemudian menjadi alasan sebagian ulama menyunnahkan puasa di hari ‘Asyura, sebagai bentuk rasa syukur Nabi Nuh atas keselamatan tersebut.

Ibnu Katsir menambahkan, selama berada dalam bahtera, api dilarang dinyalakan demi mencegah kebakaran di kapal kayu tersebut. Karena itu, selama banjir berlangsung, para penumpang bahtera tidak pernah menyantap makanan panas.

Wasiat Terakhir Nabi Nuh


Dalam Sahih al-Bukhari, diceritakan bahwa menjelang wafatnya, Nabi Nuh memberikan wasiat monumental kepada keturunannya. Ia berkata:

“Aku wasiatkan dua perkara: Beriman bahwa tiada tuhan selain Allah, dan menjauhi kesombongan. Seandainya tujuh langit dan tujuh bumi diletakkan pada satu sisi timbangan dan kalimat laa ilaaha illallaah di sisi lain, maka kalimat itu akan lebih berat.”

Wasiat ini tidak hanya mencerminkan pokok ajaran tauhid, tapi juga menyiratkan kesadaran bahwa umat manusia pasca-banjir akan memulai kembali sejarahnya dengan membawa dua warisan spiritual: iman dan rendah hati.

Tradisi Islam klasik mencatat bahwa setelah mendarat dan menetap, Nabi Nuh membagi bumi kepada tiga anaknya:

Sem, mendapat wilayah tengah: dari Sungai Nil hingga ke Tigris dan Eufrat, meliputi Yerusalem dan kawasan-kawasan strategis lainnya. Keturunannya dipercaya menjadi leluhur bangsa Arab dan Ibrani.

Ham, mendapat bagian barat dari Sungai Nil hingga ke benua Afrika dan daerah yang ditiup angin barat.

Yafet, mendapatkan wilayah yang terbentang ke timur dari Pison dan daerah yang ditiup angin timur, yang dipercaya sebagai leluhur bangsa Eropa dan Asia Timur.

Pembagian ini, meski tak dijumpai dalam Al-Qur’an secara eksplisit, menjadi basis etnogenetik dalam sejumlah teks tafsir klasik dan sempat menjadi acuan dalam pembacaan geopolitik dunia oleh cendekiawan Muslim abad pertengahan.

Quraish Shihab dalam tafsirnya mencatat bahwa tidak semua mufassir sepakat bahwa banjir Nabi Nuh melanda seluruh dunia. Ada yang menafsirkannya sebagai banjir lokal di Mesopotamia. Ini menunjukkan keterbukaan tafsir terhadap dimensi simbolik dan historis dari narasi tersebut, serta kesediaan untuk berdialog dengan temuan-temuan ilmu pengetahuan.

Namun yang pasti, dalam lisan para nabi dan riwayat yang diriwayatkan secara turun-temurun, Nuh adalah pembuka sejarah kerasulan. Ia adalah yang pertama diberi gelar rasul, bukan hanya nabi. Ia juga yang pertama menerima wahyu untuk berdakwah secara terbuka melawan sistem kezaliman yang telah mapan.

Kisah Nabi Nuh bukan sekadar kisah banjir dan kapal. Ia adalah kisah tentang kepatuhan dalam kesunyian, tentang bangunan harapan yang dikerjakan dalam keterasingan, dan tentang keimanan yang diuji oleh masa. Bahtera Nuh adalah simbol dari peradaban baru—yang dibangun di atas fondasi iman, bukan teknologi; di atas ketaatan, bukan logika semata.

Dan di atas Gunung Judi, sejarah memulai babak barunya. Sebuah kapal kayu yang sederhana, menjadi saksi bahwa dalam badai zaman, hanya yang taat yang akan sampai di daratan.

Budiman Sudjatmiko Bicara Generasi Imajinatif dan Urgensi Algoritma Nasional

JAKARTAMU.COM | Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) Budiman Sudjatmiko berbicara tentang masa depan sumber daya manusia (SDM)...
spot_img
spot_img

More Articles Like This