Minggu, Desember 8, 2024
No menu items!

Pergulatan Muhammadiyah di Parpol Pasca-Parmusi

Must Read

YOGYAKARTA – JAKARTAMU.COM | Suara Muhammadiyah dengan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menggelar bedah buku Parmusi “Pergulatan Muhammadiyah dalam Partai Politik 1966-1971” pada Selasa (19/11) di Grha Suara Muhammadiyah.

Hadir dalam acara itu Ketua Umum PP ‘Aisyiyah, Salmah Orbayinah yang memberikan catatan untuk buku yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah ini. Salmah berharap dibahas juga terkait dengan peran perempuan, khususnya ‘Aisyiyah dalam lanskap politik Indonesia.

Pada tahun-tahun itu, kata Salmah, ada sosok perempuan yang sangat menonjol di ‘Aisyiyah yaitu Siti Baroroh Baried, yang merupakan Ketua Umum PP ‘Aisyiyah dan pelopor yang meletakkan dasar internasionalisasi gerakan ‘Aisyiyah di luar negeri, serta pelopor gerakan ekonomi.

“Perempuan itu juga sangat penting untuk mengetahui bagaimana dinamika perpolitikan Muhammadiyah saat dulu, sampai sekarang ini juga sangat penting,” katanya.

Menyinggung buku yang dibedah, Salmah menyampaikan, pasca bubarnya Partai Masyumi pada 1960, tokoh-tokoh muslim kembali ke pangkuan Muhammadiyah. Kembalinya mereka ke Muhammadiyah menimbulkan gejolak di internal, banyak kekhawatiran Muhammadiyah dijadikan alat politik.

Merespon gejolak itu, PP Muhammadiyah mengeluarkan produk pemikiran yaitu Kepribadian Muhammadiyah yang digawangi oleh Fakih Usman.

Bu Bayin menjelaskan, Kepribadian Muhammadiyah ini menjadi petunjuk teknis bagaimana Muhammadiyah bergaul dengan Partai Politik (Parpol).

Sementra itu, penulis buku Ridho Al Hamdi yang juga Ketua LHKP PP Muhammadiyah menyampaikan, tahun 1966 menunjukkan keputusan Tanwir Muhammadiyah Bandung yang menegaskan tentang perlunya pendirian partai Islam baru.

Sementara tahun 1971 menunjukkan keputusan Muktamar Muhammadiyah Ujung Pandang dengan lahirnya Khittah Ujung Pandang yang menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dengan partai politik manapun termasuk Parmusi.

“Penulisan buku ini didasarkan pada fakta belum pernah adanya kajian yang secara khusus membahas tentang keterlibatan Muhammadiyah sejak pendirian, perkembangan, dan keberakhirannya dengan Parmusi,” katanya.

Sementara situasi sosial-politik saat ini tidak ada alasan lagi jika saluran politik warga Muhammadiyah tidak tersalurkan. Situasinya saat ini sudah berubah sehingga tidak memaksa Muhammadiyah untuk terlibat secara praktis dalam politik kepartaian.

Situasi sosial-politik saat ini terbuka luas bagi warga Muhammadiyah untuk terlibat aktif baik dalam politik kepartaian maupun politik kepemiluan melalui tim sukses serta bisa langsung maju sebagai caleg maupun cakada bahkan capres-cawapres dari partai yang berbeda-beda.

Namun demikian, ini bukan berarti Muhammadiyah tidak mendukung para kadernya yang berkeinginan terjun ke dalam politik praktis. Muhammadiyah justru istiqomah untuk mendorong para kadernya yang ingin terlibat aktif dengan tetap konsisten untuk aktif di partai politik serta masih membangun komunikasi dengan Persyarikatan di banyak ruang/kesempatan.

Artinya, terlibat dalam politik praktis jangan hanya setengah-setengah, maju ketika mau ada hajatan pemilu, kembali lagi ke Muhammadiyah jika kalah bertarung. Muhammadiyah mendorong agar para kadernya tetap fokus dan istiqomah berjuang di partai politik. Tentu keterlibatan di persyarikatan tetap diizinkan dengan tidak memegang posisi-posisi penting.

“Buku ini menegaskan, bahwa pengalaman Parmusi menjadi peneguh atas lahirnya Khittah Ujung Pandang 1971 yang membentuk logika kelembagaan yang kuat bagi Muhammadiyah dalam menghadapi dinamika politik praktis,” katanya. (Sumber)

Ketika Mirza Ghulam Ahmad Mengaku Imam Mahdi, Penjelmaan ‘Isa al-Masih

JAKARTAMU.COM | Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri aliran Ahmadiyah, mulai aktif menangkis serangan-serangan kaum propagandis Hindu dan kaum misionaris...

More Articles Like This