JAKARTAMU.COM | Prof Dr Quraish Shihab mengatakan makanan atau tha’am dalam bahasa Al-Qur’an adalah segala sesuatu yang dimakan atau dicicipi. Oleh karena itu, “minuman” pun termasuk dalam pengertian tha’am. Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah ayat 249, menggunakan kata syariba (minum) dan yath’am (makan) untuk objek yang berkaitan dengan air minum.
Dalam bukunya berjudul “Wawasan Al-Quran”, Quraish menjelaskan kata tha’am dalam berbagai bentuknya terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 48 kali, yang antara lain berbicara tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan makanan. “Belum lagi ayat-ayat lain yang menggunakan kosakata selainnya,” tambah Quraish.
Perhatian Al-Qur’an terhadap makanan sangat besar, sampai-sampai menurut pakar tafsir Ibrahim bin Umar Al-Biqa’i, “Telah menjadi kebiasaan Allah dalam Al-Qur’an bahwa Dia menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Esa, serta membuktikan hal tersebut melalui uraian tentang ciptaan-Nya, kemudian memerintahkan untuk makan (atau menyebut makanan).”
Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an menjadikan kecukupan pangan serta terciptanya stabilitas keamanan sebagai dua sebab utama kewajaran beribadah kepada Allah. Begitu, antara lain, kandungan firman-Nya dalam Surah Quraisy (106): 3–4:
Hendaklah mereka menyembah Allah, yang memberi mereka makan sehingga terhindar dari lapar dan memberi keamanan dari segala macam ketakutan.
Perintah Makan
Menarik untuk disimak bahwa bahasa Al-Qur’an menggunakan kata akala dalam berbagai bentuk untuk menunjuk pada aktivitas “makan”. Namun, kata tersebut tidak digunakan semata-mata dalam arti “memasukkan sesuatu ke tenggorokan”, melainkan juga bermakna segala bentuk aktivitas dan usaha. Perhatikan, misalnya, Surah An-Nisa (4): 4:
“Dan serahkanlah maskawin kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh ketulusan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambil/gunakanlah) pemberian itu, (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Diketahui oleh semua pihak bahwa maskawin tidak harus, bahkan tidak lazim, berupa makanan. Namun demikian, ayat ini menggunakan kata “makan” untuk menunjukkan penggunaan maskawin tersebut. Firman Allah dalam Surah Al-An’am (6): 121:
Dan janganlah makan yang tidak disebut nama Allah atasnya (ketika menyembelihnya).
Penggalan ayat ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud — mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar — sebagai larangan untuk melakukan aktivitas apa pun yang tidak disertai dengan menyebut nama Allah. Hal ini disebabkan karena kata “makan” di sini dipahami dalam arti luas, yakni “segala bentuk aktivitas”. Penggunaan kata tersebut untuk arti aktivitas seakan-akan menyatakan bahwa aktivitas membutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan.
Menarik juga untuk dikemukakan bahwa semua ayat yang didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan makan — baik yang ditujukan kepada seluruh manusia: Yā ayyuhannās, kepada Rasul: Yā ayyuhar-Rasūl, maupun kepada orang-orang mukmin: Yā ayyuhallażīna āmanū — selalu dirangkaikan dengan kata halal dan ṭayyibah (baik). Ini menunjukkan bahwa makanan yang terbaik adalah yang memenuhi kedua sifat tersebut.
Selanjutnya, ditemukan bahwa dari sembilan ayat yang memerintahkan orang-orang mukmin untuk makan, lima di antaranya dirangkaikan dengan kedua kata tersebut. Dua ayat dirangkaikan dengan pesan untuk mengingat Allah dan membagikan makanan kepada orang miskin dan yang membutuhkan. Satu ayat dalam konteks memakan sembelihan yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, dan satu lagi dalam konteks berbuka puasa.
Mengingat Allah dan menyebut nama-Nya — baik ketika berbuka puasa maupun selainnya — dapat mengantar seorang mukmin untuk senantiasa mengingat pesan-pesan-Nya.