Sabtu, Juni 28, 2025
No menu items!

Saat Jawa Membaca Muharram: Suroan di Persimpangan Tradisi dan Tauhid

Must Read

JAKARTAMU.COM | Bagi masyarakat Jawa, malam 1 Suro bukan sekadar awal tahun, tetapi pintu menuju tafakur yang dalam. Dari pesantren salaf hingga keraton, dari pendopo santri hingga sungai angker lereng Merapi, malam itu dipenuhi doa, sunyi, dan laku yang menghidupkan kembali jejak para nabi dan leluhur. Di tengah sunyi, Islam dan budaya bertaut: bukan berseberangan, tetapi saling menyempurnakan.

Dr. Syarifatul Marwiyah, dalam bukunya Corak Budaya Pesantren di Indonesia, menyebutkan bagaimana malam 1 Suro dirayakan di Pondok Pesantren Salafiyah Bangil, Jawa Timur. Acara yang disebut “Muharoman” ini memperlihatkan wajah Islam Nusantara yang hangat, penuh keramahan, dan sarat makna edukatif.

Para santri saling mengunjungi kamar antar-kompleks, menghias ruangan sebagai bentuk penghormatan, lalu berkumpul di pendopo untuk menerima kue dari sang kiai. Setelahnya, mereka diizinkan menonton televisi—momen langka dan ditunggu-tunggu—simbol relaksasi usai masa ujian.

Suro bukan hanya milik kalangan tradisi Jawa. Dalam khazanah keislaman klasik, khususnya pada tanggal 10 Muharram atau Yaumul Asyura, banyak sekali peristiwa besar terjadi yang diyakini menjadi titik-titik penting dalam sejarah kenabian. Dari diterimanya tobat Nabi Adam, diangkatnya Nabi Idris ke langit, mendaratnya bahtera Nabi Nuh di Gunung Judd, hingga peristiwa ikonik pembakaran Nabi Ibrahim oleh Raja Namrudz—semuanya diyakini terjadi pada 10 Muharram. Maka tak heran, pesantren menyebutnya sebagai Asyuroan, yang diisi dengan puasa, sedekah sirri (sedekah diam-diam), hingga ritual penulisan 113 basmalah sebagai jimat spiritual.

Menurut Marwiyah, tradisi ini bukan sekadar ritual kosong. Ia sarat dengan nilai-nilai teologis dan etik: tauhid, keteladanan, kesabaran, penghormatan kepada guru dan sesama, serta upaya kolektif membangun suasana damai. Dalam istilahnya: “Suroan dan Muharroman menyimpan nilai-nilai teleologis, seperti akidah, syukur, toleransi, saling menghargai, hingga spiritualitas kolektif dalam wujud gotong royong.”

Tradisi bubur suro—yang terdiri dari bubur abang dan bubur putih—juga menyimbolkan dualitas hidup. Merah adalah keberanian, putih adalah kesucian. Ia bisa dimaknai sebagai cermin keseimbangan antara dunia zahir dan batin, antara yang nyata dan gaib, antara siang dan malam. Warna-warna ini pun menggambarkan perjuangan spiritual manusia melawan sisi gelap dirinya, sebagaimana tragedi Karbala yang terjadi di bulan Muharram. Kematian cucu Rasulullah, Sayyidina Husain, pada tanggal 10 Muharram, menjadi luka sejarah sekaligus api kesadaran moral dalam tradisi Islam.

Yang menarik, istilah “Suro” sendiri berasal dari bahasa Arab ‘asyaroh, yang berarti “sepuluh”. Merujuk pada hari kesepuluh bulan Muharram. Sejarah pun membentuk jembatan budaya: dari kata Arab menjadi istilah Jawa, dari hijriah menjadi pawukon, dari hikayat nabi menjadi ritual budaya. Suro adalah titik temu antara Islam dan budaya Jawa. Bukan hasil akulturasi kosong, tetapi proses spiritualisasi tradisi yang mengakar dalam jiwa masyarakat.

Di masyarakat awam, Suro juga dikenal sebagai bulan keramat dan sakral. Banyak yang menghindari pesta pernikahan, bepergian jauh, atau melakukan kegiatan besar. Sebagian bahkan percaya malam satu Suro adalah saat kekuatan gaib turun ke bumi. Karena itu tapa bisu di Keraton Yogyakarta, kungkum di sungai, dan pencucian pusaka dilakukan sebagai bentuk penyucian diri dan menyambut energi spiritual baru.

Tradisi ini kerap dicurigai sebagai bentuk sinkretisme. Namun alih-alih ditolak mentah-mentah, semangat para ulama tradisional adalah membingkai tradisi tersebut dalam nilai Islam. Bagi mereka, Suroan bukan ritual pagan, tapi cara lokal untuk memperkuat spiritualitas, memperdalam akhlak, dan menyegarkan komitmen keberislaman di tengah masyarakat agraris yang sarat simbol.

Dalam dunia yang makin seragam dan serba instan, malam Suro justru menjadi penanda bahwa spiritualitas tidak harus kehilangan akar budaya. Di sana, kita belajar bahwa Islam bisa hadir dalam bentuk-bentuk yang membumi, manusiawi, dan tetap sakral. Bukan lewat gebyar, tetapi lewat hening. Bukan lewat teriakan, tetapi lewat tapa.

Malam Suro, dengan segala khidmatnya, mengajarkan kita tentang pentingnya berdiam untuk mendengar, dan menyepi untuk menemukan diri. Dalam kesenyapan malam Jawa itu, para santri, pelaku budaya, dan para pencari Tuhan sama-sama mengayunkan langkah menuju kesadaran yang lebih dalam.

Karena pada akhirnya, sebagaimana dinyatakan dalam tradisi pesantren: barang siapa yang menyucikan malam Suro, hatinya akan bercahaya sepanjang tahun.

Budiman Sudjatmiko Bicara Generasi Imajinatif dan Urgensi Algoritma Nasional

JAKARTAMU.COM | Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) Budiman Sudjatmiko berbicara tentang masa depan sumber daya manusia (SDM)...
spot_img
spot_img

More Articles Like This