Rabu, Juli 23, 2025
No menu items!

23 Tahun Lazismu Membumikan Al-Ma’un di Era Digital

Must Read

JAKARTAMU.COM | Pada 1912, di sudut sederhana Kota Yogyakarta, Kiai Haji Ahmad Dahlan menggurat sejarah dengan satu surat pendek dalam Al Qur’an: Al-Ma’un. Dari sanalah semangat keberagamaan Muhammadiyah berpijak.

Agama yang tidak boleh hanya berhenti di atas sajadah. Agama mesti menjejak bumi. Jalanan sunyi, panti-panti anak yatim, juga rumah-rumah papa. Tafsir praksis surat itu melahirlah Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), lembaga amal pertama Muhammadiyah yang menjadi cikal bakal gerakan sosial Islam modern di Indonesia.

Lebih dari seabad kemudian, semangat itu terus hidup seiring perkembangan zaman dan kini bersemayam dalam tubuh Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu). Tahun ini adalah usia ke-23 Lazismu, fase kematangan yang dirayakan dengan bukti nyata.

”Lazismu untuk Kesejahteraan Semua”. Begitulah tema milad Lazismu tahun ini. Suatu cita-cita universal Islam yang juga menegaskan kesinambungan nilai spiritual klasik Al-Ma’un lewat pendekatan filantropi modern berbasis data, akuntabilitas, serta jaringan kelembagaan yang tersebar di 33 provinsi.

“Kita ingin semua dapatkan nilai manfaat itu dan hak-haknya secara proporsional,” ujar Ahmad Imam Mujadid Rais, Ketua Badan Pengurus Lazismu Pusat, dalam peringatan milad yang digelar di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu (23/7/2025).

Lazismu, yang kini memiliki lebih dari 1.200 kantor layanan di seluruh Indonesia, melaporkan telah merenovasi 300 unit sekolah sepanjang tahun ini melalui program Save Our School. Angka ini belum seberapa jika dibandingkan kebutuhan, tapi dampaknya nyata. “Kami ingin yang kecil pun memberi dampak,” lanjut Mujadid Rais.

Lazismu adalah pelanjut misi dakwah sosial yang telah diwariskan sejak masa PKO. Yang membedakan hanyalah zaman. Bila dulu Kiai Dahlan mengetuk pintu-pintu rumah untuk mengajarkan surat Al-Ma’un, kini Lazismu mengetuk algoritma media sosial dan platform donasi digital, menghadirkan gerakan yang tak kehilangan jiwa walau medium berubah.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah sekaligus Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menangkap perubahan ini sebagai sesuatu yang lebih dari besar dari teknologi. Zakat, kata dia, sedang bergerak dari panggilan iman menuju gerakan kebudayaan.

“Membangun gerakan zakat hari ini bukan hanya soal akidah, tapi soal psikologi sosial dan tantangan budaya. Orang tak selalu memberi karena iman, tapi karena merasa itu bagian dari identitas sosial,” ujarnya.

Itu sebabnya Mu’ti menilai perlunya penajaman tafsir atas delapan asnaf (golongan penerima zakat). Dengan begitu, gerakan filantropi bisa menjangkau lebih banyak sasaran. Dia mencotohkan dalam bidang pendidikan, selama ini Lazismu banyak memberikan beasiswa untuk murid. Hal itu memang penting. Tetapi dia mengingatkan bahwa guru pun perlu mendapat perhatian. Banyak guru, terutama dengan status honorer, hidup jauh dari cukup.

”Perlu tafsir yang transformatif mengenai delapan asnaf itu agar zakat agar tetap kontekstual dan relevan,” kata Mu’ti.

7 Tahun Opini Wajar Tanpa Pengecualian

Lazismu di usia 23 tahun juga semakin menunjukkan akuntabilitasnya. Selama tujuh tahun berturut-turut, Lazismu meraih opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari auditor independen. Di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap banyak institusi, capaian ini menjadi membuktikan akuntabilitas dan profesionalitas gerakan filantropi Islam.

Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Muhammad Izzul Muslimin menyatakan, program-program Lazismu memberi dampak bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri, menjangkau komunitas diaspora dan wilayah-wilayah minoritas Muslim.

Tak berhenti di pendidikan, Lazismu juga menjalankan berbagai program sosial lainnya di milad kali ini: distribusi kursi roda dan alat bantu dengar, penyerahan Al-Qur’an ke pelosok negeri bersama Gramedia, santunan untuk anak-anak panti Aisyiyah, hingga kerja sama bidang pendidikan, kesehatan mental, dan lingkungan bersama Tokio Marine.

Rangkaian acara milad Lazismu ditutup dengan talkshow, menghadirkan dua nama dari dua dunia yang saling melengkapi. Habib Husein Ja’far Al-Hadar, pendakwah muda yang aktif di media sosial, dan Prof. Amelia Fauzia, Guru Besar Filantropi Islam dari UIN Jakarta. Diskusi mereka menjadi jembatan antara idealisme teologis dan dinamika praksis gerakan sosial-keagamaan hari ini.

Dalam perbincangan itu terungkap bahwa zakat, infak, dan sedekah tidak cukup hanya diatur, tapi harus terus diceritakan. Dan cerita itulah yang dibangun Lazismu selama 23 tahun—sebuah narasi panjang tentang bagaimana Al-Ma’un tetap relevan di era digital, di antara deru notifikasi, dan dalam denyut platform donasi daring. (*)

Advokat Geruduk DPR: Segera Sahkan RUU KUHAP!

JAKARTAMU.COM | Tidak hanya mahasiswa, buruh, dan pengemudi ojek online yang hobi menyerbu DPR. Senin (21/7/2025) siang, ratusan advokat...

More Articles Like This