JAKARTAMU.COM | Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melakukan Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dengan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia (Kemenhut RI) pada Selasa (22/7) di Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Yogyakarta. Kerjasama ini terkait pemanfaatan, pengelolaan, dan pemulihan sumber daya hutan..
Bagi Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, ini bukan sekadar formalitas atau “ritual MoU” yang sudah terlalu sering dilakukan di republik ini. Di hadapan para tamu undangan, ia justru mengajak semua pihak melihat hutan sebagai simbol dari dilema paling purba dalam sejarah pembangunan: antara membangun dan merusak.
“Dua rezim ini tidak akan ketemu,” ujarnya, yang dimaksudkannya adalah rezim developmentalism, yang ingin membangun dengan memanfaatkan sumber daya, dan rezim ecologism, yang ingin melindungi, menjaga, dan memulihkan.
Namun, lanjut Haedar, manusia—sebagai sunnatullah—diberi naluri untuk mencari jalan tengah. “Moderasi,” kata Haedar, “adalah hukum alam.” Menurutnya, pembangunan tidak bisa berhenti hanya demi melindungi. Tapi pembangunan juga tidak boleh membabi buta tanpa menyiapkan pemulihan bagi alam yang terluka.
Dua jam acara berlangsung, dan yang menarik adalah bagaimana Haedar menyulam tafsir ekologis dengan dalil-dalil Islam yang terdengar asing dalam wacana pembangunan modern. Ia menyitir Ali Imran ayat 190-191: Tuhan tidak menciptakan alam ini sia-sia. Dengan nada pedagogis, ia memberi peringatan: “Jangan berbuat keburukan lalu baru berbuat ihsan, tapi berbuatlah ihsan dulu, lalu cegah keburukan.”
Haedar bahkan memberi tiga kata kunci untuk kader Muhammadiyah yang hadir: bayani (tekstual), burhani (rasional), dan irfani (spiritual). Tiga cara membaca ayat Tuhan itu, katanya, harus berjalan beriringan supaya kebijakan pembangunan tidak “melompat-lompat” dari satu ekstrem ke ekstrem lain.
Di sisi lain, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni tampak memilih narasi praktis. Dalam pidatonya, ia bicara tentang Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK), Perhutanan Sosial, dan Carbon Trading. Ini adalah program-program strategis yang sedang dijalankan kementeriannya.
Toni, begitu ia biasa disapa, bahkan mengajak perguruan tinggi Muhammadiyah–‘Aisyiyah (PTMA) untuk mengelola hutan-hutan riset di Bengkulu, Malang, dan Kalimantan Tengah yang telah dialokasikan sebagai KHDTK. “Supaya kampus bisa mendapat pendanaan, dan riset bisa memberi arah pembangunan,” katanya.
Namun ia juga mengingatkan bahwa kerusakan hutan bukanlah takdir, melainkan hasil tanda tangan di atas kertas: keputusan manusia. “Kerusakan hutan sangat tergantung pada tangan-tangan pejabat,” ujarnya, seperti menegur dirinya sendiri.
Kolaborasi ini, kata Toni, menjadi penting karena negara tidak bisa bekerja sendiri. “Muhammadiyah punya jaringan umat, negara punya kewenangan. Kalau kita jalan sendiri-sendiri, kita kalah.”
Bagi banyak orang, hutan selalu jadi soal besar yang tak kunjung selesai: dalam catatan Kementerian Kehutanan, Indonesia kehilangan rata-rata 650 ribu hektare tutupan hutan setiap tahun.
Di saat yang sama, lebih dari separuh rakyat Indonesia masih bergantung pada hasil bumi. Maka tak heran bila rezim pembangunan (yang ingin menggali dan menebang demi ekonomi) dan rezim ekologi (yang ingin menyelamatkan pohon demi generasi mendatang) seperti dua kutub yang mustahil berdamai.
Muhammadiyah sendiri memiliki jejak panjang dalam soal ini. Pada Muktamar 2010 di Yogyakarta, organisasi ini sudah menyerukan eco-ijtihad: membaca ulang teks-teks agama untuk merespons krisis lingkungan. Maka kolaborasi dengan Kemenhut ini bisa jadi kelanjutan dari janji itu.
Di akhir acara, Haedar menutup dengan pesan: “Kalau rakyat kita mayoritas masih mustadh’afin, lalu siapa yang mau kita sejahterakan kalau bukan mereka? Maka harus ada keseimbangan. Jangan hanya mengambil keuntungan, tapi juga memulihkan.”