JAKARTAMU.COM | Sosok KH. Ahmad Dahlan dikenal sebagai seorang ulama yang lebih banyak berbicara melalui perbuatan ketimbang kata-kata. Bukan sebagai penulis atau pembicara produktif, ia mempraktikkan nilai-nilai yang diyakininya melalui amal nyata, yang hingga kini masih dirasakan oleh umat.
Salah satu contoh yang paling menggema adalah tafsirnya terhadap Surah al-Mā’ūn, yang mengajarkan umat untuk tidak hanya membaca, tetapi mengamalkan makna dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Gerakan al-Mā’ūn: Dari Tafsir ke Amal Nyata
Suatu ketika, KH. Ahmad Dahlan mengajarkan Surah al-Mā’ūn kepada para muridnya. Surah ini, yang terdiri dari 16 ayat yang sederhana namun penuh makna, dibaca berulang-ulang setiap hari. Seorang muridnya, Sudjak, penasaran mengapa surah tersebut terus dibaca tanpa menambah tafsir lainnya.
Dengan bijak, KH. Ahmad Dahlan menjawab, “Apakah Anda sudah menghafal 16 ayat tersebut? Jika sudah, apakah sudah diamalkan?” Pertanyaan ini menyentuh inti ajaran Islam: bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk diwujudkan dalam tindakan.
Aplikasi langsung dari surah tersebut bisa dilihat pada gerakan sosial yang didorong oleh KH. Ahmad Dahlan, yakni mendirikan panti asuhan dan menolong kaum dhuafa, yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan al-Mā’ūn.
Inilah salah satu cara beliau menggerakkan solidaritas umat Islam untuk memperhatikan nasib anak yatim dan orang miskin. Melalui tindakan nyata ini, KH. Ahmad Dahlan memberikan contoh bagaimana ajaran agama harus diwujudkan dalam bentuk pelayanan sosial yang nyata bagi masyarakat.
Kreativitas dalam Perjuangan Keagamaan
Namun, kontribusi terbesar KH. Ahmad Dahlan bukan hanya sebatas amal sosial. Pembaruan yang beliau ciptakan dalam bidang keagamaan membawa angin segar bagi pemahaman dan praktik Islam di Indonesia pada awal abad ke-20.
Keprihatinan atas kondisi masyarakat Islam yang saat itu dilanda kebodohan dan ketertinggalan, serta tercampur aduknya ajaran Islam dengan unsur-unsur syirik, tahayul, dan bid’ah, mendorong beliau untuk melakukan perubahan.
Kehidupan spiritual masyarakat Islam saat itu, menurutnya, lebih dipengaruhi oleh kebiasaan turun-temurun ketimbang pemahaman yang murni berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.
KH. Ahmad Dahlan melihat urgensi untuk membenahi pola pikir umat Islam, agar mereka kembali kepada ajaran yang benar, yaitu tauhid yang murni. Hal ini diyakini sebagai landasan utama bagi kehidupan beragama yang baik.
Pembaruan Arah Kiblat: Berani Melawan Tradisi
Namun, pembaruan KH. Ahmad Dahlan tidak hanya berhenti pada pengajaran agama. Salah satu contoh konkret dari keberaniannya dalam menghadapi tradisi adalah perhatiannya terhadap arah kiblat masjid-masjid yang selama ini dianggap sudah benar, padahal sebagian besar tidak sesuai dengan posisi Masjidil Haram di Makkah.
Dengan ilmu falak yang dikuasainya, KH. Ahmad Dahlan menemukan kenyataan bahwa arah kiblat sebagian besar masjid di Yogyakarta dan sekitarnya tidak tepat. Banyak masjid yang menghadap ke arah timur laut atau barat daya, sementara kiblat yang benar seharusnya miring sekitar 24½ derajat ke utara. Dengan keyakinan tersebut, KH. Ahmad Dahlan berani mengambil langkah kontroversial: menggambar garis kiblat yang benar di Masjid Agung Kesultanan.
Tindakan ini menuai protes keras. Para jamaah dan pengurus masjid yang tidak sepaham menganggap tindakan ini sebagai bentuk penyimpangan, bahkan ada yang menyebutnya sesat.
Ketegasan beliau dalam mengoreksi arah kiblat tersebut merupakan bentuk komitmen terhadap ajaran yang sahih, tanpa terjebak dalam tradisi yang tidak sesuai dengan ketentuan agama. Meski menuai perlawanan, beliau tetap bertahan dengan prinsipnya, mengajak umat untuk berpikir kritis dan tidak terjebak dalam taklid buta.
Mendirikan Surau sebagai Jawaban
Karena dianggap kontroversial, KH. Ahmad Dahlan akhirnya mendirikan surau kecil di samping rumahnya, dengan arah kiblat yang sesuai dengan penelitiannya. Keputusan ini memperlihatkan sikap beliau yang tidak gentar menghadapi penolakan.
Bagi KH. Ahmad Dahlan, berbuat dan bekerja jauh lebih penting daripada hanya berbicara. Ia memilih untuk memberikan contoh nyata dalam beribadah, yang sesuai dengan sunnah Rasulullah, meski itu berarti menentang kebiasaan yang sudah ada.
Pesan Hidup yang Abadi
Di penghujung hidupnya, KH. Ahmad Dahlan meninggalkan pesan yang sederhana namun sangat mendalam: “Berbuat dan bekerja itu lebih baik dan lebih penting daripada berbicara.”
Kalimat ini tidak hanya menggambarkan sikap beliau yang lebih memilih beraksi ketimbang berbicara, tetapi juga menekankan pentingnya perbuatan dalam membawa perubahan yang nyata bagi masyarakat.
Karya dan perjuangannya dalam bidang pendidikan, sosial, dan agama tidak hanya tercermin dalam gerakan Muhammadiyah yang ia dirikan, tetapi juga dalam nilai-nilai pembaruan yang terus menginspirasi umat Islam Indonesia hingga kini. Dengan langkah-langkah sederhana namun penuh makna, KH. Ahmad Dahlan tidak hanya membangun institusi, tetapi juga membangun kesadaran beragama yang lebih dalam, lebih jernih, dan lebih inklusif.