JAKARTAMU.COM | Mesir 975 Masehi. Pada suatu pagi yang teduh di tepian Sungai Nil, para petani Fatimiyah sibuk mengangkut hasil panen ke pasar Fustath. Gandum dan kapas memadati keranjang-keranjang besar di punggung keledai dan unta. Di sisi lain kota, para saudagar asing baru saja merapat ke pelabuhan Iskandariyah dengan muatan rempah dan logam dari Konstantinopel. Semuanya bergerak menuju satu tujuan: kas negara.
Daulah Fatimiyah, kekhalifahan bermazhab Syiah Ismailiyah yang menguasai Afrika Utara dan Mesir pada abad ke-10, bukan sekadar kerajaan religius. Di tangan Khalifah Al-Muiz Lidinillah dan anaknya Al-Aziz Billah, daulah ini menjelma menjadi mesin ekonomi yang tangguh. Dan kekuatan itu, sebagaimana dicatat dalam Sejarah Peradaban Islam karya Dr. H. Syamruddin Nasution, bersumber dari tiga aliran utama: pajak pertanian, jizyah, dan bea cukai.
“Fatimiyah memahami betul bahwa kejayaan spiritual tidak akan tumbuh di tanah yang miskin,” tulis Syamruddin.
Pajak dari Lumbung Nil
Mesir memang tanah berkah. Lembah Nil dikenal sebagai salah satu kawasan pertanian paling subur di dunia. Dari sanalah negara memungut pajak tetap dan pajak hasil bumi. “Hanya dari kawasan Fustath saja,” catat sumber-sumber primer, “negara bisa meraup 120 ribu hingga 500 ribu dinar per hari.” Di masa itu, jumlah itu lebih dari sekadar besar. Itu luar biasa.
Tak hanya gandum dan sayur-mayur. Peternakan juga menjadi penyumbang devisa. Domba, unta, dan kambing dikenai pajak produksi dan distribusi. Semua dikelola oleh Perdana Menteri Ya’qub ibn Keles, seorang mualaf Yahudi yang dikenal sebagai birokrat andal. Di tangannya, sistem pajak Fatimiyah menjelma rapi dan agresif.
Jizyah: Satu Dinar untuk Perdamaian
Sumber pendapatan kedua datang dari komunitas non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan Daulah Fatimiyah. Mereka disebut ahl zimmah—umat Kristen Koptik, Yahudi, dan lainnya. Untuk dapat hidup damai di wilayah Islam, mereka dikenakan jizyah, semacam pajak keamanan. Lelaki dewasa yang merdeka dan baligh wajib membayar, sementara perempuan dan anak-anak dikecualikan.
Pada 587 M, hasil pungutan jizyah tercatat mencapai 30.000 dinar. Dana ini bukan hanya menjadi alat legitimasi politik, tapi juga menegaskan bahwa kebijakan fiskal Fatimiyah berjalan dengan formula: keberagaman harus dibayar dengan perlindungan.
Bea Cukai ala Fatimiyah
Adapun al-makus—pajak bea cukai—menjadi sumber pemasukan ketiga. Dan inilah yang menjadikan Mesir benar-benar kuat. Fatimiyah memungut cukai dari barang-barang luar yang masuk ke pelabuhan-pelabuhan penting seperti Tunisiyah, Iskandariyah, hingga Fustath. Kapal dagang dari Konstantinopel dikenai tarif sebesar 35 dinar per setiap 100 dinar nilai barang. Sebuah angka yang cukup tinggi, namun masih menarik dibandingkan kondisi rawan laut lainnya.
Tak hanya dari luar. Industri dalam negeri pun tak luput. Setiap perajin, pedagang, dan pengusaha lokal di Mesir wajib membayar pajak rutin. Maka jangan heran jika Baitul Mal Fatimiyah tak pernah kosong. Harta berlimpah mengalir deras, bukan dari rampasan perang, tapi dari mesin ekonomi yang berjalan sistematis.
Dari Dana ke Ilmu Pengetahuan
Yang menarik, kekayaan ini tidak semata untuk istana. Pada masa Al-Aziz Billah dan Al-Hakim Biamrillah, harta negara dialirkan ke sektor pendidikan. Universitas Al-Azhar tidak hanya menyediakan tempat belajar, tapi juga makan dan pakaian bagi mahasiswa secara cuma-cuma. Perpustakaan Darul Hikmah dibangun megah, dengan ribuan manuskrip dari berbagai disiplin ilmu.
Sang Khalifah bahkan memberikan hadiah kepada para ilmuwan yang datang ke majelis-majelis diskusi. Di saat yang sama, saingannya dari Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah Cordova juga berlomba melakukan hal serupa—seolah mereka sedang terlibat “perang suci” dalam bidang pengetahuan.
Namun, kekayaan juga membawa bumerang. Ketika para penerus Fatimiyah tak lagi bijak, uang negara mengalir ke pesta dan kemewahan. Bukan ke masjid atau universitas. Maka sejarah pun menulis epilog yang pahit: “Salah satu penyebab keruntuhan Fatimiyah adalah ketamakan para penguasanya sendiri.”