JAKARTAMU.COM | Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Barat menilai kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi soal penambahan kuota siswa per kelas menjadi 50 orang sangat gegabah dan merugikan. PWM Jawa Barat mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat menghargai peran sekolah swasta yang selama ini ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Jangan ugal-ugalan mengambil kebijakan. Hargai perjuangan (sekolah) swasta yang selama ini melakukan upaya proses pendidikan yang itu tidak bisa ter-cover oleh negara,” kata Sekretaris PWM Jabar, Iu Rusliana, dikutip dari Republika, Rabu (14/7/2025).
Iu menjelaskan, keputusan Dedi Mulyadi berdampak signifikan terhadap sekolah-sekolah dasar dan menengah Muhammadiyah yang dikelola Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah serta Pendidikan Non-Formal (Dikdasmen PNF). Di sejumlah kota dan kabupaten, seperti Sukabumi, Depok, dan Garut, sekolah Muhammadiyah mengalami penurunan pendaftar.
Ia mencontohkan, SMK Muhammadiyah di Garut hanya menerima 153 pendaftar dari 206 siswa yang lulus. Sementara SMK Muhammadiyah 1 Cikampek yang dikenal sebagai sekolah favorit, jumlah pendaftarnya turun dari 789 lulusan menjadi 642 siswa.
PWM Jabar menyesalkan kebijakan ini dibuat tanpa melibatkan pengelola sekolah swasta sebagai pihak yang terdampak langsung.
“Kami berharap pemerintah kalau mau ngambil kebijakan dikaji dulu mendalam. Bukan apa-apa, karena kami swasta berjuang dari awal dari puluhan tahun lalu dari sejak Indonesia merdeka bahkan Muhammadiyah sebelum itu,” ucap Iu.
Sangat Merugikan Pondok Pesantren
Bukan hanya Muhammadiyah yang memprotes kebijakan Dedi Mulyadi. Kalangan Nahdlatul Ulama pun merasakan hal yang sama. Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU Jawa Barat, KH Abdurrahman, mengatakan kebijakan maksimal 50 siswa per kelas memperparah tekanan terhadap lembaga pendidikan swasta, termasuk pesantren. Menurut dia, arah kebijakan Dedi Mulyadi cenderung menjauh dari semangat penguatan dunia pendidikan Islam.
“Secara umum, kebijakan ini sangat merugikan dunia pesantren dan sekolah swasta. Arah kebijakan Gubernur seolah-olah makin menjauh dari kemajuan, dan justru mendiskreditkan pesantren,” ujarnya dikutip dari Republika, Selasa (15/7/2025).
Kiai Abdurrahman menyebut, aturan ini melengkapi daftar kebijakan Pemprov Jabar yang dianggap tidak berpihak pada lembaga pendidikan swasta. Ia menyinggung penghapusan batasan rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri, perluasan zonasi, hingga kebijakan terkait ijazah, yang menurutnya mempersempit ruang gerak pesantren dalam menjaring peserta didik. (*)