Rabu, Juli 16, 2025
No menu items!

Dua Luka dalam Satu Atap (16): Hari di Mana Aku Tak Menangis Lagi

Must Read

PAGI itu, matahari menyelinap lewat celah genting rumah ibu. Cahaya kuning pucat jatuh di lantai semen yang dingin. Aku terjaga tanpa perasaan yang dulu biasa singgah: jantung yang berdegup cemas, tenggorokan yang tercekat, dan dada yang terasa berat menanggung sesuatu yang tak bisa kutafsirkan.

Pagi itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku bangun tanpa menangis.

Bukan karena lukaku telah sembuh. Bukan karena masalah kita sudah selesai. Tapi karena aku mulai menerima, bahwa tak semua luka harus kering untuk bisa kulangkahi.

Aku berdiri di depan cermin tua di sudut kamar. Rambutku awut-awutan. Mataku sembab. Tapi ada sesuatu yang lain di wajahku—tatapan yang tak lagi sepenuhnya kalah.

Kutarik napas panjang. Kupandangi pantulan diriku sendiri seolah perempuan itu orang asing. Dalam senyap, aku berbisik pelan:

“Kau sudah cukup terluka. Sekarang saatnya berdiri.”

Di meja, ponselku bergetar. Satu pesan darimu:

> “Apa kabar?”

“Aku pikir kau sudah lupa padaku.”

Aku memaca pesan itu dengan perasaan yang datar. Bukan karena kebencian sudah lenyap. Tapi karena aku tak lagi menaruh harapan di antara kata-kata yang selalu terlambat datang.

Aku membiarkan pesan itu tak terbalas. Mungkin nanti aku akan menjawab. Mungkin tidak. Tapi pagi ini, aku tak ingin apa pun darimu merampas ketenanganku yang baru tumbuh seperti tunas rapuh di ujung musim hujan.

Ibu mengetuk pintu, membawa semangkuk bubur ayam. “Makan dulu, Nak,” katanya.

Aku tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, senyum itu tak dipaksakan. Tanganku meraih mangkuk, sendok menenggelam dalam bubur hangat.

Kami makan bersama di meja kayu tua. Di sela suapan, aku menceritakan kabar anak kita. Ibu mendengarkan dengan seksama, sesekali bertanya, sesekali menatapku dengan mata teduh yang tak pernah menuntut apa pun.

Usai sarapan, aku berjalan ke halaman belakang. Matahari naik lebih tinggi, memantul di jemuran kain sarung yang berkibar diterpa angin.

Aku duduk di kursi plastik, menatap langit yang cerah dengan dada yang tidak sepadat kemarin. Ada ruang kosong di sana, tapi untuk pertama kalinya aku tak merasa perlu mengisinya dengan siapa pun.

Hari berlalu perlahan. Siang datang membawa bau tanah kering. Sore turun dengan desir angin yang menabur debu di teras.

Menjelang maghrib, aku membuka lemari, mengeluarkan beberapa potong pakaian, menatanya rapi dalam tas. Ibu memerhatikan dari ambang pintu.

“Kamu mau pulang?” tanyanya hati-hati.

Aku menoleh. “Mungkin. Mungkin hanya sebentar. Aku belum tahu.”

Ibu mengangguk pelan, tanpa mendesak.

Aku menutup tas, duduk di pinggir ranjang. Jemariku mengusap kain tas yang lusuh. Pikiranku kembali ke hari pertama aku pergi dari rumah itu. Waktu itu, aku pikir aku tak akan mampu melewati satu malam tanpa menangis. Tapi lihatlah, hari ini aku sudah melewati pagi tanpa air mata.

Aku berdiri. Meraih ponsel, menulis pesan untukmu:

> Aku baik-baik saja. Aku hanya butuh waktu.

Aku tidak menulis “Aku akan pulang,” atau “Aku masih mencintaimu.” Karena aku tak ingin menipu diri sendiri lagi. Aku hanya ingin jujur: bahwa aku sedang belajar berdiri di atas kakiku sendiri.

Pesan itu kukirim. Lalu aku keluar kamar, membantu ibu membereskan dapur. Sesekali kami berbagi tawa kecil. Tawa yang tak bising, tapi cukup untuk membuatku merasa sedikit lebih utuh.

Malam turun dengan lebih lembut. Di teras, aku duduk memandangi bulan yang separuh terbenam di balik atap rumah tetangga. Dulu, aku tak bisa memandang bulan tanpa ingatmu. Kini, aku menatapnya tanpa sesak di dada.

Barangkali inilah makna pulih: bukan melupakan, bukan berpura-pura tak pernah luka, tapi mampu berdiri di bawah langit yang sama tanpa lagi menggenggam pedih.

Dan di malam itu, aku tahu, meski jalanku masih panjang, setidaknya aku sudah tiba di satu titik yang dulu kuanggap mustahil:

Hari di mana aku tak menangis lagi. (*)

(Bersambung seri ke-17: Langkah Kecil Menuju Diri Sendiri)

Lazismu DKI Terima Tiga Siswa PKL SMK Muhammadiyah 5 Jakarta

JAKARTAMU.COM | Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu) DKI Jakarta menerima tiga siswa SMK Muhammadiyah 5 Jakarta....

More Articles Like This